Bagian 09 - 2

1.1K 132 9
                                        

Masih dengan rambut setengah basah, aku menuju dapur karena perutku yang sudah meraung sejak tadi. Makan malam telah tersaji di atas meja, tinggal menunggu penghuni rumah ini untuk menyantapnya.

Yang jelas bukan aku yang memasak. Bukan pula Ian, apalagi Papa.

Jika bukan jasa Mbak Rini, mungkin rumah yang hanya dihuni para pria ini akan mirip kandang kuda. Sementara untuk urusan makanan, pesan antar adalah solusi.

Tapi Mbak Rini tidak tinggal di rumah kami. Meski bisa menjamin keamanan Mbak Rini, bagi aku maupun Papa merasa tidak pantas jika ada perempuan yang tinggal seatap dengan tiga laki-laki.

Setelah mengisi piringku dengan nasi, aku mengecek ponselku yang ternyata belum juga ada respon dari Ian. Sepertinya dia benar-benar sibuk sampai tak punya waktu menyentuh ponselnya.

“Ian mana?” tanya Papa yang baru saja tiba.

“Keluar kayaknya, Pa.” Aku meletakkan ponselku dan mulai mengisi perut.

Papa mulai mengisi piring dan duduk di hadapanku. “Kok kayaknya?”

“Teleponku enggak diangkat,” jawabku sambil mengendik ke arah ponselku.

“Oh …” Papa manggut-manggut. “Ya udah, biar dia main sama temennya.”

Main sama teman? Kurasa tidak. Mengingat siang tadi dia menghubungi Kiya, mungkin mereka berdua sedang bersama sekarang.

Aku mengernyit sambil memejamkan mata. Memutar kejadian siang tadi, membuatku ikut mengingat kebodohanku. Ya, lagi-lagi aku hampir mengungkapkan jati diri dan rahasia antara aku dan Ian.

Tanpa sadar, aku menanyakan perihal laptopnya. Aku tentu masih ingat jelas saat Kiya mengeluh tentang laptopnya yang rusak dan akhirnya tidak bisa melanjutkan tulisannya.

Rasanya aku ingin menjedotkan kepalaku di meja saat itu juga. Atau sekalian pingsan di tempat. Untungnya, Kiya tidak menaruh curiga ketika aku berkilah. Sekali lagi, aku selamat.

“Kamu kenapa? Pusing, ya?”

“Huh?” Aku membuka mata dan langsung bersitatap dengan Papa.

“Itu, muka kamu mengerut begitu,” kata Papa agak prihatin.

“Enggak, Pa.” Aku tersenyum kecil. “Aku lagi keinget sesuatu.”

“Papa berharap yang kamu ingat itu cewek.”

Alisku terangkat. Bagaimana bisa pertanyaan yang awalnya menanyakan keadaanku berujung membahas perempuan?

Ya, oke, yang sedang aku ingat memang perempuan. Tapi konteks yang Papa dan aku pikirkan jelas berbeda.

“Mukaku enggak kayak gini kalau keinget cewek, Pa.”

“Jadi, ekspresi apa yang muncul?” tanya Papa sembari terus menikmati makanannya.

Aku mengendikan bahu. “Bahagia, kan? Apalagi?”

Papa menggeleng. “Enggak selalu. Memangnya hubungan kalian mulus terus?”

Sekarang, alisku mengerut. Kan? Papa berpikir terlalu jauh. “Hubungan apa sih, Pa?”

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Aku dan Papa kompak menjawab salam dari Ian yang baru saja tiba. Dengan senyum semringah, Ian menghampiri meja makan dan berdiri di sebelah kursi Papa.

“Nah!” Papa menunjuk Ian. “Ini contoh muka orang yang lagi berbunga-bunga karena cewek.”

“Papa tau dari mana?” Ian melirikku. “Abang cerita sama Papa?”

Sebelum aku berhasil menggeleng, Papa lebih dulu menyela. “Oh, padahal Papa cuma nebak, ternyata bener kamu punya pacar?”

Ian terkekeh, duduk di sebelahku, lalu menjawab, “Belum jadi pacar.”

“Kamu gimana?” tanya Papa.

Aku mengangkat pandangan karena tahu pertanyaan itu ditujukan padaku. “Gimana apanya?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.

“Masa kamu kalah sama adek kamu.”

“Papa juga, masa kalah sama anak,” balasku. Ian tertawa tertahan di sebelahku.

“Papa udah nikah. Kalau Papa nikah lagi, udah dua kali. Sementara kalian belum sama sekali.”

“Kenapa sih, Pa?” Ian ikut bergabung setelah tawanya mereda. “Aku sama Bang Rayyan izinin kok.”

Ingin mendengar jawaban Papa, aku berhenti menyuap nasi ke mulutku. Yang dikatakan Ian barusan memang benar. Aku dan Ian membebaskan Papa untuk menikah lagi.

Alasan utamanya bukan agar rumah ini lebih terurus atau akan ada yang mengurus Papa, tapi untuk menemaninya. Papa butuh teman cerita dan partner yang menemaninya menikmati masa tua.

“Bukan masalah izinnya, Papa cuma enggak mau aja. Papa mau setia sama Bunda kalian sampe mati.”

Namun jawaban Papa selalu sama. Mungkin karena Bunda masih memenuhi hatinya hingga saat ini.

“Tapi siapa yang nemenin Papa kalau Bang Rayyan sama aku dah nikah?” tanya Ian.

Papa mendecakkan lidah. “Memangnya kapan kalian ngurusin Papa?”

“Iya sih.” Ian cengengesan.

“Kamu enggak makan?” tanya Papa pada Ian.

“Udah tadi,” jawab Ian.

“Sama cewek kamu?”

“Kita belum pacaran, Pa,” ulang Ian.

“Lama banget,” sahutku pelan.

Jika dihitung dari awal aku berperan sebagai Ian dan berkenalan dengan Kiya, kemudian diambil alih oleh Ian asli. Kira-kira sudah lebih dua bulan. Bukankah itu terlalu lama untuk disebut pedekate?

Ian menyerong posisi duduknya menghadap ke arahku. “Belum ketemu timing yang pas, Bang. Dia susah banget diajak keluar. Kayaknya dia itu the real anak rumahan. Sebulan ini aja ya, gue baru ketemuan tiga kali, Bang. Selebihnya cuma chat, dia enggak mau teleponan. Katanya dia takut bingung mau ngomongin apa,” jelasnya panjang lebar.

“Ya bagus. Perempuan begitu yang harusnya kamu cari,” sela Papa.

“Jadi Papa setuju nih?” pancing Ian.

“Selama kamu suka, enggak apa-apa. Kalian udah dewasa untuk pilih pasangan masing-masing,” kata Papa bijak.

Selama kamu suka? Aku nyaris tertawa. Papa tidak tahu saja aku juga tertarik pada perempuan yang Ian suka. Kalau begitu, apa Papa masih bisa bilang ‘enggak apa-apa’?

It's You, But Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang