Obrolan Pagi

554 80 0
                                    

Hari pertama sekolah di SMA Negeri 3 Samajaya selalu diawali dengan apel pagi. Seharusnya tidak lama. Tapi karena pidato panjang dari kepala sekolah apel itu menjadi begitu lama.

Bagaimana tidak? Setiap pak kepala mengatakan, “Baik, jadi itu yang bisa bapak sampaikan.” Pasti setelah itu akan ada topik baru yang tiba-tiba terlintas di pikiran pak kepala sehingga keluar kata-kata “Oh iya, bapak baru inget.” Dan berakhir berbuntut panjang.

Ada juga hal yang sedikit tak adil bagi para murid. Entah kebetulan atau bagaimana pasti bagian barisan para guru selalu terlihat teduh. Tidak terkena sinak matahari sedikitpun. Berbeda dengan para murid yang langsung berhadapan dengan matahari. Apalagi di bagian barisan anak-anak yang dihukum. Beuh, silau mataharinya gaada lawan.

Sabda dan Atha termasuk ke dalam barisan itu. Seperti kata bunda, mau ngebut atau tidak pun pasti mereka akan telat. Tapi bagi Atha lebih cepat lebih baik, jadi dia tetap mengebut. Dan seperti janji Sabda tadi, Sabda terus menggeplak bahu Atha yang terus terusan mengebut.

“Yang jaga bu Ningrum, bang, serem,” Bisik Sabda pada telinga Atha di depannya. Mereka memang berbaris depan-belakang dengan Atha yang di depannya.

Atha agak memundurkan badannya, berbisik pada Sabda. “Lo gausah ribut, nyet, ditarik baru tau rasa lo.”

“Ah, abang sih, kenapa pake salah liat sih?”

“Ya lo tdi juga bangun telat ya! Kalo kita langsung berangkat pun pasti juga telat.”

“Hush...sttt..” tegur bu Ningrum.

“Abang sih...” tuduh Sabda sambil mendorong pelan bahu Atha. Atha yang tak terima sebenarnya ingin membalas, tapi dia ingat bahwa mereka ada di barisan murid yang dihukum. Gausah cari perkara lagi.

Sabda dan Atha ada di barisan paling ujung kanan , menandakan bahwa mereka yang paling terakhir masuk ke barisan itu, (read : datang paling telat). Yah, setidaknya itu tadi sebelum akhirnya tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang datang dari gerbang sekolah.

Dengan santai, lelaki itu berjalan ke teras kelas terdekat, menaruh tas dan hoodie hitamnya di sana. Lalu, dengan santai berjalan ke barisan hukuman dan berdiri di belakang Sabda. Mengabaikan puluhan pasang mata yang melihatnya dan mulai berbisik-bisik.

Rupanya, sang kepala sekolah pun juga menyadarinya.

“Aditya Jenderal Nusantara. Maju ke depan.”

Jenderal sedikit terkejut saat namanya dipanggil. Tentu saja, dia baru saja masuk barisan lalu namanya dipanggil.

Ada sedikit rasa takut dalam diri Jenderal saat diminta maju. Tapi ya daripada menambah amarah pak kepala sekolah, lebih baik dia langsung maju kan?

“Wah, ternyata memang begitu ya? Sudah salah dengan kasus kemarin dan sekarang malah masuk barisan khusus?”

“Maaf, pak, tadi rantai sepeda saya lepas.”

“Saya kecewa sama kamu, bisa-bisanya kamu melakukan tindakan tak terpuji seperti itu? Saya yakin kamu sadar betul bahwa yang kamu lakukan itu salah.”

Jenderal menundukkan kepalanya. Entahlah, dia tak kuasa untuk sekedar menatap wajah pak Kepala. Suasana sekitar juga menjadi  terasa begitu hitam mencekam.

“Kalau tau salah kenapa tetap dilakukan?”

Terdengar suara bisik-bisik dari tiap barisan, disusul suara ‘stttt’ dari guru yang bersaut-sautan untuk menenangkan para muridnya agar diam. Mereka berbisik-bisik seolah-olah hanya Jenderal yang salah di sini. Yah, memang terlihat begitu.

“Sebagai kepala sekolah, saya malu! Malu! Apalagi keluarga kamu!”

Mendengar kata itu, Jenderal merasa kecil. Respon tubuhnya yang paling pertama adalah terkekeh. “Malu ya?”

“Masih bisa tertawa kamu?! Ayo angkat kepalanya!”

Keadaan menjadi begitu tegang di lapangan. Bahkan beberapa siswa terlihat takut dan enggan untuk mengeluarkan suara sedikitpun, seperti Sabda.

“Bang...” cicit Sabda, menarik baju belakang Atha.

“Sttt...” Sabda mendengus kesal. Diabaikan oleh abangnya adalah hal yang paling menyebalkan.

Di dalam hatinya, Sabda merasa kesal. Entah kenapa dia merasa tidak suka dengan keadaan ini, keadaan dimana semuanya menyudutkan Jenderal.

Seketika, Sabda teringat obrolan saat sarapan pagi tadi.

Saat itu, Sabda baru saja mulai melahap sarapannya saat ayah mulai membuka topik.

“Ayah denger, di sekolah ada masalah ya? Ada yang ketauan nyuri soal ujian?”

Sabda sebelumnya memang sudah mendengar desas desus kabar itu. “Oh itu, iya, Yah. Katanya kelas 10 gak sih, bang? 10 MIPA.”

“Gue denger-denger si Jenderal sih.”

“Jenderal? Jenderal saha? Gue kenal?”

“Anak basket tim gue, Gak pernah absen latihan. Itu yang anak jalur prestasi, banyak piagam lomba dia.”

“Oh, yang sering diampirin Naka itu? Adeknya Naka?”

“Bang Naka, Sab. Kakak kelas lo itu.”

“Iya iya itu, Bang Naka.”

Bunda yang tadinya asyik bergelut dengan pisau dan kulit buah mangga kini tertarik pada obrolan ketiga lelakinya itu.

“Bentar bentar, itu udah bener gitu? Udah dikonfirmasi?” tanya Bunda dengan wajah serius.

“Gatau, itu mulai rame pas liburan tahun kemaren, Bun. Sekolah gaada ngasih pengumuman. Ayah juga tau darimana?” ucap Sabda.

“Di grup orang tua, rame juga. Pada heboh.”

“Tapi, abang gak yakin. Jenderal anaknya baik banget loh. Suka bantu, positif juga. Kek ‘masa iya?’”

“Ya Siapa yang tau si, bang? Hati manusia gaada yang tau.”

“Udah ah. Ga baik ngomong yang belum pasti bener gitu.” Bunda akhirnya menghentikan topik pembicaraan itu.

“Ingat ya, Semua manusia punya hati, bahkan penjahat terkejam sekalipun. Mau dia pelakunya atau nggak, dia juga punya hati. Jangan ngomongin orang sembarangan gitu.”

“Iya, kata orang itu namanya sanksi sosial. Tapi, apa salahnya kalau kita gak gunjingin dia? Daripada kita menghakimi dia dengan kata-kata yang terdengar kasar di dia, kenapa kita gak narik dia buat keluar dari zona merah itu?”

Ayah tersenyum mendengar Bunda. Perasaan itu datang lagi. Perasaan yang membuat ayah jatuh cinta pada Bunda. Bunda memang punya pesonanya sendiri di mata ayah.

“Lagi untuk kasus ini kan sekarang belum terkonfirmasi bener atau nggak. Pokoknya Bunda gak mau ya anak Bunda suka ngomongin kejelekannya orang.”

“Iya, bunda cantik. Mendingan makan cilok depan sekolah gak sih, bang?”

“Haha iya, nanti minta traktir Eja.”

Katanya orang tua sangat berpengaruh pada kepribadian anak. Semua tergantung pada cara orang tua berperilaku selama membesarkan anak.

Kalau orang tua ingin anaknya begini begitu, tapi nol aksi apa gunanya? Mungkin karena itu Atha dan Sabda tumbuh menjadi anak yang rendah hati, ramah pada siapapun, dan harus tau batas-batas berinteraksi pada orang lain.

Bunda dan ayah selalu mengajarkan keduanya agar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, jangan menjadi ketakutan orang lain. Jadilah teman untuk diri sendiri, teman, keluarga, dan orang lain.

.

.

.

.

.
TBC
[15/06/21]

Sandyakala | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang