.
.
.
.
.
"Ma, Pa." Malam itu, setelah makan malam Jenderal memberanikan diri untuk mendekat pada kedua orang tuanya yang terlihat asyik di ruang TV.
Sudah menjadi rutinitas setiap malam, pasti kedua orang tuanya akan menonton tv berdua, sedangkan Naka belajar di kamarnya, dan Jenderal yang random.
Mama dan Papa menoleh pada putranya yang satu itu. Sorot mata Mama berubah menjadi tidak suka, merasa terganggu.
"Bentar lagi Jeje ada pertandingan basket, terus-"
"To the poin aja, cepet." Mama memotong ucapan Jenderal.
Jenderal menggigit bibir bawahnya. Tiba-tiba merasa ragu untuk mengutarakan maksudnya tadi. "Eh... eum, gajadi kalo gitu."
"Gimana sih? Gak jelas, ganggu aja," gumam Mama.
"Ma..." tegur Papa.
Mama hanya mengedikkan bahu lalu kembali menonton TV. Papa juga langsung kembali menonton TV.
Di tempatnya, Jenderal masih berdiri. Ia masih menggigit bibir bawahnya dengan kedua jari tangannya yang saling bertautan. Tapi ini penting baginya. Haruskah dia tetap berbicara?
Papa menyadari bahwa Jenderal masih berada di sana, lalu berucap. "Kamu mau ngomong apa sebenernya?" Jujur, Papa juga penasaran.
"Anu..." jujur Jenderal takut. Takut keinginannya ditolak. "Jeje mau sepatu baru."
"Sepatu kamu kemana? Hilang? Mama masih liat ada di rak, masih bagus gitu, jangan boros," ucap Mama.
"Sepatu buat basket, Ma. Sepatu Jeje buat basket udah kekecilan, sakit kalo dipake," jelas Jenderal sabar.
"Ya gausah pake, emang harus pake sepatu gitu? Kan yang penting sepatu kan?" Ucap Mama.
Jenderal menunduk. Nyatanya sepatu sekolahnya juga sedikit kesempitan. Bahkan itu sudah pernah jebat beberapa kali, tapi masih Jenderal perbaiki dan pakai lagi. Tentu saja, sepatunya itu sudah menemaninya sejak kelas 1 SMP. Itupun sebagian besar dari tabungannya.
Bolehkan kali ini Jenderal sedikit egois?
"Tapi, Ma, gaenak kalo pake sepatu biasa," ucap Jenderal.
"Manja banget, udah pake sepatu yang ada aja kenapa sih? Gausah boros, kalo masih bisa dipake ya dipake yang ada aja!" ucap Mama.
"Lagian, kamu udah ngapain? Ngapain sampai mama harus beliin kamu sepatu. Nilai kamu ada peningkatan? Kalo mau sepatu, naikin nilai dulu. Susul Nana, gak malu apa sama Nana," ucap Mama.
Bagi Jenderal, ucapan mamanya itu terdengar final. Jenderal melirik pada Papa, berharap bisa melihat harapan disana. Tapi ternyata nihil, Papa juga terlihat tidak peduli.Akhirnya, Jenderal kembali ke kamarnya dengan hati yang kecewa.
Padahal Jenderal tidak pernah meminta yang aneh-aneh. Untungnya Jenderal masih diberi uang untuk jajan dan sebagainya.
Sebenarnya ada alasan lain kenapa Jenderal sangat jarang ikut bermain dengan temannya. Jika bermain pasti butuh uang kan? Nah, Jenderal lebih memilih untuk menyimpannya saja. Menabung.
Dia menabung agar tidak perlu meminta pada orang tuanya jika membutuhkan sesuatu, di luar buku sekolah.
Kenapa dia tidak meminta? Sekali lagi, ia takut permintaannya ditolak. Sudah cukup saat dia setiap saat ditolak dengan berbagai alasan, membuatnya kecewa. Jenderal takut rasa kecewanya akan menumpuk dan berubah menjadi benci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...