.
.
.
.
.
.
Pagi ini, Atha dan Sabda harus ikhlas lari bersama pak John bersama anak lain juga.
Kali ini mereka masuk terlambat karena motornya Atha sempat macet tadi pagi. Akibat belum diservice, padahal sudah waktunya diservice.
Karena ini sudah kesekian kalinya Atha dan Sabda terlambat, maka hukumannya ditambah. Tidak seperti siswa lain yang sudah selesai dengan hukuman bersama pak John, mereka juga harus membersihkan taman kecil di belakang toilet kelas XI IPS.
"Gue bilangin ngeyel sih! Dibilangin kemaren tu mending service dulu motornya," omel Sabda yang sibuk menyapu.
"Terus gue jenguk Luki pake apa???" Balas Atha yang hanya memegang cikrak, menunggu sampah dari Sabda.
"Motor bunda kan ada, ato pake motor siapa kek."
"Ya maap, namanya juga panik."
"Hmmm..."
"Heh, jangan ngambek dong!" Ucap Atha.
"Hmm..."
Sabda memang agak kesal dengan saudaranya itu. Pasalnya hari ini harusnya dia praktek bernyanyi di jam pertama, pelajaran favoritnya. Tapi dia tidak bisa ikut.
"Dek... adek... dek Sabda," panggil Atha menggoda Sabda yang mukanya masih ditekuk.
Sabda tak menanggapi.
"Dekkk... adekkkk... dek Sabdaaa.... ganteng... cowok, kiw."
"Adeekkk... Seblak deh, seblak?"
"Gak."
Atha tersenyum. Setidaknya adiknya itu sudah mau menanggapi. Kalau sudah mau menanggapi begitu, berarti sudah agak berkurang kesalnya.
"Geprek? Cilok? Jus? Kopi? Gue jajanin dah!"
"Gak mau."
"Jangan ngambek dong! Gue harus ngapain biar lo gak ngambek lagi? Maafin gue," ucap Atha melas.
"Cikraknya jangan dimainin itu ah!" Sabda merebut paksa Cikrak dari Atha lalu kembali menyapu.
"Entar malem gitaran ama gue deh! Lo nyanyi sepuasnya, ya? Ya? Ya?"
Sabda menanggapinya dengan mengedikkan bahu.
Atha tersenyum. Itu artinya Sabda sudah tidak benar-benar ngambek. Hanya egonya masih tinggi untuk mengiyakan.
"Iya deh! Gue anggap iya!" Ucap Atha sambil tersenyum senang.
Atha mengambil cikrak yang sudah penuh daun lalu memasukkannya ke plastik yang sudah ada.
Karena sudah selesai, Atha langsung mengikatnya plastik itu.
"Nah, sapa yang mau buang? Lo aja ya, bang? Kan searah noh ama kelas lu,"ucap Sabda.
Atha menoleh. "Emang gue mau ke kelas?"
Sabda memutar bola matanya malas, hari ini moodnya benar-benar jelek.
"Iya iya, sensi amat hari ini," balas Atha mengalah. Bisa gawat kalo Sabda tambah kesal. Padahal niatnya tadi hanya bercanda.
"Lo langsung ke kelas?" tanya Atha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...