.
.
.
.
.
"Gua boleh pinjem motor lu gak?"
"Ngapain?"
"Nganterin sodara gue."
"Gak."
"Ayolah, sodara gue sakit, ga mungkin gue boncengin pake sepeda."
"Ck, Sodara lo maksudnya bang Naka? sini gue anterin aja."
"Gue pinjem motor aja gabisa?"
"Gak!"
Jenderal menghembuskan napas saat temannya lagi-lagi pergi begitu saja. Ini sudah kelima kalinya dia ditolak.
Jenderal belum menyerah. Dia masih berjalan, menghampiri setiap orang yang dia kenal lalu bertanya apakah dirinya boleh meminjam motor.
Saat bel berbunyi tadi, Jenderal dikagetkan oleh kedatangan Naka ke kelasnya dengan kondisi tubuh yang lemas dan wajah yang pucat. Siapa yang tidak panik.
Dia tidak mungkin mengantar Naka pulang dengan jalan kaki. Naka juga tadi diantar mama dan Menolek untuk menelpon mama. Karena itulah dia berinisiatif meminjam motor. Tapi sedari tadi tidak ada yang meminjamkannya.
Untungnya Jenderal berpapasan dengan Reza yang tangannya penuh dengan plastik berisi jajanan.
Jenderal mungkin tidak cukup kenal dengan Reza, bahkan tidak pernah berbicara. Namun, entah mengapa Jenderal merasa bahwa meminta tolong pada Reza adalah hal yang tepat.
Pandangan mereka bertabrakan, hening beberapa saat. Jenderal yang masih ragu ingin bertanya dan Reza yang menunggu ucapan Jenderal.
Memahami perasaan Jenderal, Reza akhirnya buka suara. "Mau ngomong sama gue? kenapa?"
Jenderal tersentak dari pandangannya, dia kemudian berjalan mendekati Reza.
"Gue pinjem motor lu boleh?"
Reza mengernyitkan dahinya, setaunya tadi pagi dia melihat Jenderal datang dengan sepedanya, kenapa tiba-tiba pinjam motor?? Lagi menurutnya ini sangat tiba-tiba.
"Tolong lah, gue gatau mau minjem motor sama siapa lagi."
Reza teringat bahwa saat di kantin tadi dia melihat Naka yang lemas di kantin, kepalanya disembunyikan diantara lipatan tangannya. "Mau lo pake buat anter abang lo?"
Jenderal mengangguk, "Naka sakit, lemes banget, ga mungkin gue bawa pake sepeda."
"Gimana ya..."
"Okedeh, kalo lo ga percaya sama gue, lo yang boncengin Naka terus gue ikutin di belakang." Jenderal akhirnya pasrah.
"Apaan sih? bukan gitu, motor yang gue bawa sekarang suka macet-macet, lo tambah repot nanti."
"Hsjsjsjs," Jenderal mengacak rambutnya, benar-benar khawatir dengan Naka.
"Eh, kalo gitu pinjem bang Atha aja, lo kenal kan?"
"Gapapa?"
"Gapapa." balas Reza lalu mengedikkan dagunya, memberi isyarat agar Jenderal mengikutinya.
Reza berjalan lebih dulu menghampiri Sabda yang sedang duduk di pinggir lapangan basket, menunggu si abang yang masih latihan.
"Noh!" Reza memberikan satu gelas yang dibawanya pada Sabda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...