.
.
.
.
.
Ada banyak cara sekolah untuk menyambut semester baru. Ada sekolah yang menyambut semester baru dengan rapat guru seharian, membuat muridnya bebas. Tapi ada sekolah yang menyambut semster baru dengan saling bertukar sapa antara murid guru. Setiap guru yang masuk pasti hanya akan mengajak para muridnya untuk bercerita pengalaman liburan mereka. Ada juga sekolah yang masih sibuk membagikan buku paket, lks, dan lain sebagainya untuk media pembelajaran.
Lalu, bagaimana dengan SMA Negeri 3 Samajaya? Tidak ada. Mereka hanya langsung mengajak para muridnya untuk belajar. Mencekoki muridnya dengan materi-materi baru, mengejar jadwal materi.
Sebenarnya itu sangat menguntungkan bagi siswa yang sangat berambisi masuk perguruan tinggi dan suka belajar. Tapi ya tetap saja, sebagai seorang siswa rasanya mau muntah. Baru juga masuk, pemanasan dulu kek!
Seperti Sabda. Sungguh awalnya dia sangat bangga bisa masuk sekolah ini, jalur prestasi pula. Usaha belajarnya selama kelas 9 itu membuahkan hasil. Yah, siapa yang tidak bangga masuk sekolah paling favorit di kota besar?
Yah, tapi itu hanya bertahan sampai MOS selesai. Setelah pembelajara dimulai, Sabda rasanya mau pindah sekolah saja. Hidup di antara Albert Einstein seperti ini membuatnya terlihat begitu bodoh. Dia selalu saja menduduki peringkat terakhir, nilai pun selalu di bawah yang lain. Padahal nilainya juga lebih dari 85.
Untungnya ada Reza. Temannya itu cukup pintar. Rata-rata kelas lah ya. Sering bantu Sabda untuk beradaptasi di kelas sekolah einstein itu. Coba kalo tidak. Bisa-bisa Sabda benar-benar merengek pada ayah dan Bundanya untuk memindahkannya. Baiknya, Sabda bersyukur msuk IPS. Bisa-bisa tambah gila dia kalau berurusan dengan fisika dan kimia.
Selain langsung mulai pelajaran, eskul juga langsung berjalan hari itu juga. Jadi, eskul yang jadwalnya senin langsung mulai berkegiatan. Sebenarnya baik, Atha, Sabda, maupun Reza, eskul mereka tidak berjadwal hari seni.
Namun, tadi tiba-tiba Atha mendapat telepon dari pelatih basketnya agar semua tim berkumpul hari ini sepulang sekolah. Maka dari itu, di sini lah Sabda dan Reza sekarang. Duduk di dekat pintu masuk sekolah. Sebenarnya bukan di dekat. Tapi, memang di tengah-tengah pintu lobi sekolah.
Pemandangan itu sudah biasa sebenarnya. Dua cowok di sore hari duduk di tengah-tengah pintu masuk lobi sekolah. Di tangan salah satunya memegang cilok yang berisi satu plastik penuh. Sementara yang lainnya hanya duduk dengan wajah jahil.
“Abang lo mana si? Capek gue liat muka lo,” keluh Reza.
“Yaudah, bilang aja mau pulang. Tinggal pulang sono. Simple, Ja.”
Sabda dengan santainya menahan tangan Reza yang ingin menyuapkan setusuk cilok ke mulutnya, lantas memasukkannya ke mulut Sabda sendiri.
“Itu cilok gue ya, nyet!” Reza menoyor kepala Sabda.
“Minta elah, pelit amat. Perhitungan amat jadi temen. GAIS JANGAN MAU TEMENAN SAMA REZA! DIA PELIT BANGET, ANJIR GABOONG.” Tolong dimaklumi. Sejujurnya Sabda pernah tersedak Toa lalu menetap di tenggorokannya. Mungkin karena itu volume suaranya mirip Toa.
“JANGAN MAU TEMENAN SAMA SABDA, ENTAR LO DIPALAK CILOK! Lo minta gatau diri ya, nyet! Gue yang beli tapi gue Cuma makan 2 biji anjir!” Yah memang ada alasan tersendiri kenapa Reza bisa tahan dengan Sabda. Apa lagi? Mereka sejenis.
“TUH KAN! PERHITUNGAN BANG-“
“MAKAN TUH CILOK!” Reza yang kesal akhirnya menyumpal mulut Sabda dengan dua buah cilok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...