.
.
.
.
.
"Widih bau apa nih?" Ucap Jenderal saat penciumannya mencium bau yang sedap. Padahal jarak kamarnya ke dapur tidak begitu dekat. Jenderal baru saja bangun pagi itu.
Ia segera berjalan ke dapur, ingin memastikan apa yang dilakukan saudaranya. "Masak apa, Na?"
"Ayam kecap doang, gapapa ya?"
"Ya gapapa banget, dong! Yang penting enak! Masakan lo selalu enak!" balas Jenderal sambil mengacungkan jempol.
Jenderal berdiri di samping Naka, bersiap jika seandainya Naka butuh bantuan. Dalam hati, ia juga khawatir. Pasalnya saudaranya ini tipe orang yang ceroboh.
"Kecap, Je!"
"Eh, merica, Je! Merica! Di dipet atas!"
Jenderal dengan sigap mengambil semua bahan yang dibutuhkan.
"Oiya, Je, Mama sama Papa udah deket, mungkin bentar lagi sampe rumah," ucap Naka.
Orang tua mereka memang sedang keluar kota. Mama menemani papa untuk pergi keluar kota. Ini sudah 2 hari dan pagi ini mereka akan pulang.
"Papa dibikinin kopi nih? Mama?"
"Iya, papa kopi yang biasa, Je! Kalo mama teh aja! Sama kamu juga mau apa terserah."
"Gue mau kiko aja." Jenderal berjalan mengambil teko kecil Mengisinya dengan air lantas meletakknya di atas kompor yang menyala.
"Kamu kenapa jadi suka kiko gitu sih? Jangan tiap hari, Je! Nanti batuk!" omel Naka.
"Mana ada tiap hari, kemaren nggak!"
"Tapi kemaren lusa kamu minum 5 batang kiko, Je!"
"Makan, Na, kan beku."
"Nah! Itu lebih bahaya! Nanti batuk, Je!"
"Aishh.. iya iya," balas Jenderal, mengalah. Ia mulai sibuk menyiapkan gelas-gelas.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara mesin mobil dari arah luar rumah. Bersamaan dengan air di teko yang sudah mendidih.
Jenderal segera mematikan apinya, "gue bukain pintu dulu ya? Ini tinggal dituangin."
"Oke!"
"Hati-hati! Panas!" Jenderal mengambil lap di dekat situ dan mengelap tangannya.
Sayangnya, Naka ceroboh saat itu. Dia lupa jika teko itu panas. Dia langsung memegang gagang teko dan mengangkatnya.
Seketika itu juga, dengan spontan tangannya melepas teko itu. Membuat teko yang sudah terangkat sedikit jatuh ke lantai begitu saja.
Bagusnya, Naka juga spontan langsung mundur sedikit, menghindari air itu. Berbeda dengan Jenderal, dia yang tidak tau apa-apa menjadi korban juga.
Posisi Jenderal dan Naka tadi bersampingan, sangat dekat. Jenderal yang masih mengelap tangannya itu terkejut saat mendengar Naka mengaduh, bersamaan dengan teko yang mengenai kakinya dan air yang ikut tumpah, banyak mengenai kakinya.
"Akh..." Jenderal merintih.
"Eh Je! Yaampun astaga! Maaf!" Naka langsung menuju ke wastafel, mengaliri tangannya dengan air, lalu mengambil es di kulkas, untuk mengompres kakinya Jenderal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...