Setiap orang tua pasti kaget waktu mendapat telepon dari sekolah anaknya. Pasalnya sangat tidak mungkin sekolah menelpon orang tua di jam sekolah, kecuali ada kabar yang ingin dismpaikan. Biasanya sebagian besarnya adalah kabar kurang baik.
Termasuk bunda. Bunda benar-benar terkejut saat mendapat panggilan dari sekolah, mengatakan bahwa ia harus segera ke sekolah karena ada masalah yang harus diselesaikan. Bunda awalnya bingung, kedua anaknya bukan tipe siswa yang suka membuat masalah.
Ayah tak jauh berbeda, ayah sangat terkejut saat diceritakan bunda via chat. Lantas baru mempercayainya saat melihat langsung penampakan wajah anaknya.
“Sini dulu, dek! Liat bunda! Mukamu itu loh! Ayo diobatin dulu.” Biasanya jika anaknya terlibat perkelahian, pasti orang tuanya yang marah, mengomel. Namun, berbeda dengan ini. Malah anaknya yang marah, sabda berlagak mengambek pada Bunda.
“Diobatin dulu heh! Gak ngilu apa?” tambah Atha sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Mereka tengah makan malam sebenarnya. Ayah dan Atha makan lebih dulu, sedangkan bunda mengurusi si bungsu yang merengek tidak mau makan dengan alasan pipinya sakit saat mengunyah.
“Seenggaknya dikompres dulu. Nih!” Bunda memberikan sekantung plastik berisi es batu. Sabda masih memalingkan wajahnya, tidak mau dikompress.
“Yaudah, abisin aja martabaknya, bang! Adek gausah dikasih!” Mendengar itu, Sabda membelalakkan matanya, tak terima. “Bunda mah!”
“Ya terus gimana? Katanya kalo dipake makan sakit, dikompres gamau, terus gimana, hmm?”
“Adek itu ngambek ya!”
Bunda merapatkan tubuhnya pada putranya, tangannya bergerak mengelus kepalanya dengan lembut dan sabar. “Ngambek kenapa, hmm?”
“Bunda tadi kenapa malah minta maaf sama Arga sih?”
Bunda mengernyitkan dahinya heran. “Loh, ya harus minta maaf, dong! Anaknya bunda udah mukulin anak orang. Kamu juga ngaku yang pertama mukul kan? Ya bunda harus minta maaf, dong!”
“Tapi yang salah tuh Arga, Bun! Sumpah dia gabisa dibiarin!” Sabda membela dirinya, emosinya ikut membara.
“Terlepas dari yang salah siapa, tapi kamu mukul duluan, sayang. Bagaimanapun juga harus minta maaf ya?”
Sabda cemberut. Moodnya menjadi down. Di fase sekarang, dia merasa bahwa seharusnya tidak ada yang mempedulikan Arga yang menurutnya sudah kelewat batas.
“Lagian adek gamau jelasin kenapa mukulin temennya?” tanya ayah.
Ini pertama kalinya mereka melihat Sabda seemosi ini. Biasanya, semarah apapun Sabda, dia hanya akan meluapkannya dengan mengomel seharian penuh di rumah.
Pokoknya Sabda hanya akan melampiaskannya dengan mengomel saja. Bahkan akan memilih untuk menghindari bertatap muka dengan orangnya secara langsung. Katanya biar gak kesulut emosi.
Sabda juga tipe anak yang terbuka pada orang tuanya. Dia akan senantiasa menceritakan segalanya pada ayah dan bunda. Meminta saran dari keluarganya.
Soal nama yang disebutkan Sabda tadi, ayah ingat sabda pernah menceritakannya. Tapi hanya sebatas, “Masa kan, Yah, Bun, ada temennya adek namanya Arga. Dia ini apa ya? Ngebet banget sama nilainya. Pokoknya nilainya harus paling oke. Ya bagus sih, tapi masalahnya dia ini sampe maksa banget, kesel adek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...