Maaf, Je

593 91 5
                                    

.

.

.
"Ternyata kita memang seasing itu, sampai aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat itu."
.

.

.

Siang itu Naka berjalan mondar-mandir di dalam kamar Jenderal. Ia khawatir saat masuk ke kamar Jenderal dan mendapati saudaranya itu masih tidur dengan damai.

Padahal ini sudah jam 9, harusnya Jenderal sekolah bukan? Soal Naka, ia baru saja selesai ujian kemarin. Jadi, dia libur hari ini. Tinggal menunggu kelulusan.

Hal pertama yang dilakukan Naka saat masuk ke kamar Jenderal tadi adalah memegang tubuhnya. Tubuh Jenderal yang terasa hangat di tangannya. Wajahnya juga terlihat pucat. Naka menjadi khawatir dibuatnya.

Saat ia melihat meja belajar milik Jenderal, terlihat ada sebuah apron berwarna biru. Di depan apron itu tertulis sebuah nama swalayan tidak asing bagi Naka. Itu swalayan yang dulu sering ia kunjungi berjama Jenderal.

Dan Naka terlalu pintar untuk tidak mengerti keadaan. Apron itu adalah apron yang biasa dipakai orang yang bekerja di swalayan itu.

"Jeje kerja? Jeje sering pulang malam itu... kerja?" Gumam Naka.

Wajahnya berubah khawatir. Kenapa Jenderal sampai harus bekerja?

Ingatannya menangkap sebuah momen dimana Jenderal menitipkan sebuah kotak pada dirinya. Hadiah untuk papa kemarin. "Cuma buat hadiah papa kah? Kayaknya nggak."

Saat itulah matanya menangkap sebuah kotak yang ada di bawah meja belajar milik Jenderal. Di atas kotak itu terdapat sepasang sepatu yang masih tampak asing untuknya. "Sepatu basket?"

Dan saat itulah Naka menyadari semuanya. Segalanya. Ternyata dia dan Jenderal memang seberbeda itu.

Di saat dia bisa dengan mudah meminta sesuatu pada orang tuanya, Jenderal malah harus berusaha sendiri. Pasti Jenderal harus menabung lebih dulu.

"Je, plis, aku juga pengen kayak anak kembar lain, sering dibeliin baju kembar, sepatu kembar. Banyak lah, kenapa sih kita sebeda ini?" Gumamnya.

Naka terlihat duduk di pinggir kasur Jenderal. Merenungkan beberapa hal. Keadaan kamar Jenderal yang hening mendukung Jenaka untuk merenung.

Setelah beberapa saat, Naka akhirnya mengangguk mantap. Ia telah memutuskan sesuatu. "Sekarang, giliran aku yang belain Jeje."

Naka menoleh pada saudaranya, tersenyum tipis. Tangannya bergerak menaikkan selimut Jenderal. "Bentar ya, Je."

Selanjutnya Naka berjalan keluar dari kamar Jenderal. Menutup pintunya perlahan lalu berjalan ke ruang keluarga, menghampiri mama.

"Ma, Nana mau ngomong boleh?" Ucap Naka lembut.

Mendengar suara putranya, Mama tersenyum. Tangannya menepuk space kosong di sampingnya, mengisyaratkan anaknya untuk duduk.

Naka menurut, kemudian ia duduk di samping mama. Mamanya dengan cepat menyambut anaknya, mengelus punggungnya lembut. "Mau ngomong apa, hmm?"

"Nana... Nana gak mau ambil beasiswa," ucap Naka.

Mama menatap putranya bingung. "Na? Serius? Kamu udah berusaha sejauh ini?"

"Ya tapi-"

"Tapi kenapa? Ragu gak bisa ngikuti materi kedokteran? Gak mungkin! Nana anak mama pinter!"

Sandyakala | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang