Tentang Jenderal dan dunianya

464 79 0
                                    

.

.

.

.

.

Jenderal namanya. Lelaki yang belakangan menjadi pusat perhatian karena tuduhan terhadapnya.

Pulang sekolah itu, wajahnya terlihat suram. Dia merasa sedih atas apa yang baru saja dikatakan oleh pelatih basketnya tadi.

"Dengan berat hati saya umumkan Jenderal keluar dari tim basket."

Kalimat itu mampu meruntuhkan dunia Jenderal. Hanya basket memang. Mungkin bagi orang lain biasa saja. Tapi, basket sendiri punya sejarah bagi kehidupan Jenderal.

Dulu waktu SD, Jenderal selalu dituntut untuk menjadi seperti saudaranya, Naka. Mama Jenderal mendaftarkan Jenderal ke berbagai bimbel hanya karena berharap Jenderal menemukan keunggulan di pelajaran.

Nyatanya Jenderal malah terpuruk dan membuatnya tak bisa masuk ke SMP favorit sesuai kemauan mamanya.

Dari situ Papa angkat suara. Papa melarang mama mendaftarkan Jenderal ke bimbel. Karna sudah terbukti bahwa itu tak menghasilkan apapun kecuali mental Jenderal yang menurun.

Dari SMP itu juga Jenderal mulai merasa jauh dengan mamanya. Tak masalah, masih ada Papa yang selalu mendukung Jenderal.

Bagusnya, di SMP itu entah bagaimana Jenderal masuk ke dalam tim basket. Bahkan sebagai kapten dia berhasil membimbing timnya untuk memenangkan berbagai pertandingan.

Piagam-piagam itu berhasil mengantarkan Jenderal untuk berada di sekolah terfavorit di kotanya. SMA yang sama dengan sekolah Naka.

Lihatkan? Setiap orang pasti punya jalannya masing-masing untuk bersinar. Gak usah maksa. Pasti ada jalan sendiri kok.

Semua baik-baik saja, sampai rumor itu datang entah bagaimana. Kasus tentang pencurian soal ujian semester 1 dengan Jenderal sebagai pelakunya. Jenderal juga bingung. Kini semuanya berjalan di luar dugaan Jenderal. Bahkan Papanya yang kecewa juga terasa menjaga jarak padanya.

"Seharusnya memang kamu masuk bimbel aja."

Ucapan ayahnya itu menghancurkan hati Jenderal. Bukankah itu berarti akan membuat Jenderal kembali pada masa-masa terpuruknya?

Ayolah, Jenderal bukan Naka yang kuat mengikuti les setiap hari.

Memangnya hidup hanya tentang kepintaran akademik saja? Hidup di dunia bukan hanya tentang teori-teori ilmiah penelitian yang sudah tertulis di atas kertas kan?

Ini juga tentang hubungan sosial mereka, gaya berbicara mereka, dan pergaulan mereka.

Lihat? Bahkan piagam basket bisa membuat Jenderal diterima di sekolah bergengsi.

"JEJE!" Baiknya hanya dengan satu suara, senyuman Jenderal bisa kembali.

Jenderal berhenti berjalan, lalu menoleh kebelakang lantas tersenyum saat melihat saudaranya berlari kecil ke arahnya.

Jenderal menunggu saudaranya sampai padanya lalu berjalan bersama keluar sekolah.

"Kok udah bubar? Tadi perasaan anak basket kumpul deh! Cepet banget? Ga latian?" tanya Naka bertubi-tubi.

Jenderal menggeleng. "Tadi cuma pertemuan biasa aja, ada pengumuman gitu."

Naka mengangguk lalu meneliti wajah saudaranya, menemukan sesuatu disana. "Pengumumannya jelek ya? Kenapa kayak sedih?"

Jenderal mengernyitkan dahinya. "Siapa yang sedih? Gue ga sedih."

"Kamu gabisa boongin aku, Je, aku tau."

Hening sejenak, kemudian Jenderal terkekeh. "Iya juga, gue ga pernah berhasil boong sama lo."

"Jadi, kenapa?" Naka menahan langkah Jenderal, mengajaknya membicarakan itu di dekat pos satpam.

"Ada lah, masalah basket."

Jenaka mengangguk pelan, paham bahwa saudaranya itu tidak ingin membicarakannya. "Mau pulang bareng?"

"Lo kan mau les?"

"Iya, kan dijemput mama, nanti anter aku dulu, baru kamu pulang."

"Oh, sama Mama. Yudah, sana gih, kasian mama nungguin."

"Je..."

"Kenapaaaaa." Jenderal terkekeh menanggapi Naka. Naka memang terasa seperti adiknya.

"Oh, kamu mau ke rooftop dulu? Kan hari ini satpam mau pulang cepet katanya, mana boleh."

"Bukan, mau ke bengkel. Sepeda gue titipin di sana."

"Nah! Daripada jalan kaki, mending bareng aku aja!"

Jenderal tertawa. "Lo kayak cewek gue aja, hahaha."

"Padahal mah jomblo."

"Udah buru sana, gue bawain jus melon?"

Jenaka mengangguk. "Nanti taro kulkas ya! Nanti kuminum pas udah di rumah."

"Siap bos! Hati-hati!"

"Harusnya aku yang bilang! Hati-hati, Je!" ucap Jenaka. "Duluan ya!"

Jenderal berjalan beberapa langkah di belakang Naka, memastikan Naka sudah pergi bersama mama.

Setelah mobil hitam yang dia yakini milik mamanya pergi, dia langsung berjalan pergi ke bengkel tempat dia menitipkan sepeda yang rantainya lepas tadi pagi.

Jenderal berjalan pelan, menikmati suasana sore hari dengan langit jingga yang menyapa. Sore hari ini cerah. Tidak terlihat ada awan sedikitpun. Kalau ada pun hanya tipis-tipis.

Entah sejak kapan, tapi Jenderal mulai tertarik dengan langit senja. Entah mendapat filosofi dari mana, tapi Jenderal merasa kagum pada langit Senja.

Di beberapa waktu, Jenderal biasanya pergi ke rooftop sekolah saat pulang sekolah. Meluangkan waktu untuk menyapa langit sore di sana.

Walau hanya dengan berdiri dengan bertumpu pada tembok pembatas saja, Jenderal merasa damai. Mungkin orang lain tidak bisa merasakannya, tapi untuk orang yang benar-benar suka pasti akan tau bagaimana sensasinya.

Juga di perjalanan pulang sekolah dengan sepedanya, biasanya Jenderal menyempatkan diri untuk mampir jajan. Paling sering Jus, sih...

Bukan hanya untuk dirinya, Jenderal juga akan membeli untuk Naka. Bagi Jenderal, Naka juga sangat penting.

Sejauh apapun Jenderal berpikir, dia tak pernah paham bagaimana saudaranya itu bisa tahan dengan pelajaran. Di sekolah sudah belajar seharian, lah Naka malah nambah bimbel.

"Seru darimananya sih, Na? Yang ada bikin stress!" Komen Jenderal waktu Naka dengan antusias menceritakan tempat bimbelnya yang baru.

Karena itulah, Jenderal selalu membelikan camilan untuk Naka di perjalanan pulang sekolah. Kalo kata Jenderal sih, "Biar dinginin otak, Na. Biar gak meledak."

Pokoknya, dunianya Jenderal lebih banyak berputar pada 3 hal. Yang pertama adalah Nana-nya, lalu Basket, juga langit Senja.

Jika kini satu dunianya telah dijauhkan darinya, lalu mari berdoa semoga tuhan tidak akan menjauhkan dua hal lainnya.

.

.

.

.

.
[TBC]
18/06/21

Sandyakala | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang