Senja dan ceritanya

330 73 0
                                    

.

.

.

.

.

Tuk tuk tuk tuk...

Terdengar suara sepatu menaiki tangga. Pemilik sepatu itu terlihat membawa sekantung plastik di tangan kanannya, wajahnyabterlihat begitu cerah.

"Je, ternyata aku masih puny- lah?" Naka yang sebelumnya mau menawarkan roti yang dia bawa tadi terdiam. Dia bingung.

Setelah jam tambahan selesai, dia langsung bergegas pergi ke rooftop. Takut saudaranya menunggu lama. Tapi, nyatanya rooftop itu kosong sekarang. Tas milik Jenderal pun sudah tidak ada.

"Masa Jeje ninggal aku? Gak mungkin! Ke mana ya?"

Naka mendekat ke dinding pembatas, siapa tau dia bisa melihat Jenderal dari situ. Dahi Naka mengernyit begitu melihat ke arah lapangan rumput. Terlihat ada empat orang sedang berlari disana.

"Itu Jeje? Dia ngapain?"

Tak sengaja, pandangan Jenderal menuju ke arah Naka. Naka yang sadar itu langsung melambaikan tangannya.

"Bang Jenaka! Pinjem Jenderalnya dulu ya!" itu suara seorang lelaki yang naka kenal bernama Sabda. Dia ingat sempat melihat nametag nya tadi.

Naka tersenyum melihat itu. Ia kemudian berbalik, berencana membelikan air minum untuk Jenderal. Oh dan mungkin untuk 3 orang lainnya.

Iya, saat sambal rujak milik Reza jatuh tadi, itu tak sengaja mengenai pak John. Guru seni muda yang terkenal suka membantu eskul olahraga. Seluruh sekolah pasti juga tau kalau pak John suka berlari di lapangan rumput pada sore hari.

Itu sebabnya, sebagai hukuman Sabda dan Reza harus ikut berlari bersama pak John. Jenderal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan peristiwa jatuhnya sambal itu mau tak mau juga harus terlibat. Pasalnya dia yang lebih dulu dilihat oleh pak John.

"Loh ngapain ikut berhenti?!" omel pak John saat ketiga murid yang lari bersamanya juga ikut berhenti.

"Lah, kan bapak juga berhenti," jawab Sabda.

"Mana ada! Kalian masih ada 2 putaran lagi! Ayo lanjut!" ucap pak John.

"Yah, pak! Kok gitu?!" protes Sabda.

"Lari atau saya telfon pak Toriq?"

"LANJUT SAB! YUK SEMANGAT YUK! BISA KOK! BISA!" Reza menarik tangan Sabda untuk ikut berlari lagi.

"BISA SEKARAT!" balas Sabda kesal, tapi masih ikut berlari.

Sedangkan Jenderal hanya mengikuti Sabda dan Reza di belakang.

Reza dan Sabda sudah ngosngosan. Itu terlihat dari kecepatan lari mereka yang menurun. Jenderal? Mungkin karena dia sudah terbiasa di basket jadi dia terlihat santai.

"Tenang, Ja, abis ini entar langsung kotak-kotak!" Sabda mencoba menghibur.

"Mana ada begitu!" ucap Reza.

"Ada! Bang Atha lari sekali langsung keliatan, anjir!"

"Oh ya?" Reza terlihat berpikir. "Keren tuh! Kencengin lagi, Sab!"

"Jangan kenceng-kenceng, nyet! Kaki gue kek mau patah, njir!" protes Sabda, tapi ya tetap saja mengejar Reza.

Jenderal masih setia mendengar perdebatan tak berfaedah milik Reza dan Sabda. Sebenarnya, Jenderal mungkin bisa saja langsung mendahului kedua temannya lalu selesai lebih dulu. Tapi dia tidak melakukannya.

Sandyakala | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang