.
.
.
.
.
"Kamu beli apa sih? Banyak bener?" tanya Naka. Ia sedang berdiri bersandar pada tangga menuju rooftop yang sering menjadi tempat tongkrongan Jenderal, menunggu saudaranya itu.
"Kiko," jawab Jenderal. "Mau ngapain? Gak ada jam tambahan?"
"Pulang bareng ya?" Ucap Naka, mengikuti langkah Jenderal yang terus menaiki anak tangga.
"Gak dijemput mama?"
Nka menggeleng. "Mama sama papa ke rumah tante."
"Entar gua tunggu di gerbang."
Jenderal membuka pintu menuju rooftop. Karena Jam tambahan untuk kelas 12 juga belum mulai, jadi Naka memilih mengikuti saudaranya itu.
Namun, mereka terdiam terdiam begitu melihat ada 2 siswa laki-laki disana. Dua siswa lelaki itu duduk tepat di samping tas milik Jenderal.
Jenderal mengernyit heran melihat dua siswa itu.
"Ini dikupas?" Terlihat Sabda memegang sebuah mangga.
"Kupaslah! Lo mah makan kulit mangga? Alot tau!"
"Dah." Sabda menaruh mangga yang berhasil dia kupas lalu beralih mengambil apel.
"Lah? Ngapain apelnya dikupas?"
"Ya kan mau dimakan, masa ga dikupas?"
"Gausah! Langsung aja! Ribet, njir!"
"Yaudah mangganya gausah klo gitu."
"Heh! Terus lo mau makan mangga gimana, njir?! Ya dikupas lah! Ngaco!"
"Deskripsi!" Seru Sabda.
"Hah?"
"Gaboleh beda-bedain! Deskripsi namanya!"
"Diskriminasi, Sat!"
"Nah iya itu! Masa mangganya dikupas tapi apelnya ngga, kalo iri gimana?"
"Noh! Makan tu apel! Kupas sono!" Reza menyodorkan semua apel pada Sabda.
"Cih, pundungan!"
"KESEL ANJING, unfriend aja lah kita!"
"Eh, ada orang. Jadi, malu." Sabda yang kebetulan menoleh dan melihat Jenderal bersama Naka disana.
Jenderal memutar bola matanya jengah lalu berjalan mengambil tasnya. Ia cepat-cepat ingin pergi.
"Eit! Napa pergi? Rujakan uy!" Sabda menahan tangan Jenderal.
"Urusin apel lo dulu noh! Ngurus apel aja ga bener udah ngajak orang aja," balas Reza, maaih kesal perkara apel tadi.
"Katanya gak dikupas gapapa?"
"Ya lo tadi maksa buat dikupas, njir?!"
"Ga tuh! Gue cuma nanya doang."
"Lo sengaja bikin gue emosi ye."
"Gampang banget emosi cepet tua baru ta-HEH! JEN! DUDUK SINI JANGAN PERGI!"
"Berisik bege!" Reza menjitak kepala Sabda.
Di sisi lain, Jenderal sudah ada di pintu. Selangkah lagi dia benar benar sudah tidak berada di rooftop lagi. Namun, Naka menahan tangannya. "Kenapa pergi? Itu kamu diajakin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...