.
.
.
.
.
"Oper ke gua cuy!"
"Lawan bego!"
"Masukin masukin masukin!"
Hari ini tim inti basket SMA sedang berlatih. Mereka akan mengikuti turnamen basket 2 bulan lagi.
Di tengah lapangan sana terlihat begitu seru, berbeda dengan dua orang yang sedang menatap bosan ke arah lapangan.
"Mending beli cilok, Ja, Kuy!" Ucap Sabda.
"Beliin."
"Aman, gue baru digaji sama pak presiden semalem."
"Kalo gitu es tehnya sekalian!"
"Yeu si kambing malah ngelunjak."
"Jadi gak?!"
"IYA IYA BURU!"
Sabda dan Reza pun berjalan menuju depan gerbang sekolah, dimana banyak pedagang-pedagang kecil berjualan.
Masih di koridor, keduanya melihat seorang siswa yang belakangan ini menjadi perhatian sekolah.
Tapi, ya pada dasarnya mereka berdua ini memang tidak mempedulikan hal-hal seperti itu. Jadi, mereka hanya melirik sebentar lalu kembali berbacot ria sambil berjalan.
Di sisi lain, Jenderal terlihat tidak suka dengan keberadaan Naka yang tiba-tiba menghampirinya.
"Kamu kenapa cuma disini? Gak ikut latihan?" Tanya Naka.
"Bukan urusan lo."
Naka terkejut. Mungkin ini bukan pertama kalinya Jenderal bersikap dingin seperti itu padanya. Tapi jarang. Yang Naka tau. Pasti ada sesuatu dengan saudaranya itu.
"Kamu dikeluarin dari basket?"
Jenderal terdiam. Melihat reaksi dari Jenderal, Naka menyimpulkan bahwa ucapannya itu benar.
"Je? Bener? Yaampun, Je."
"Gausah. Ikut. Campur. Ini. Bukan. Urusan. Lo."
"Kamu kenapa sih?"
"Gue udah bilang, kalo di sekolah gausah ngampirin gue."
"Emang kenapa sih, Je? Biasanya juga begitu."
"Tapi sekarang beda, Na, lo bisa-bisa ikut keseret masalah gue." Yang Jenderal takutkan hanyalah satu, Naka bakal ikut kena imbas dari permasalahannya.
"Aku gak masalah sama itu! Kita sodara, itu lebih penting, Je."
"Tapi bagi gue masalah, Na, kalo lo keseret juga, bisa-bisa reputasi akademik lo juga keseret, seenggaknya tunggu sampe lo lulus."
"Akademik akademik akademik, kenapa sih semuanya selalu ngungkit masalah akademik aku? Percaya sama aku, aku ga bakal keseret, okei?"
Jenderal menatap Naka khawatir. "Gue tau perjuangan lo, Na, lo udah ngerahin semua kekuatan lo buat les les, terus kalo lo keseret semua bakal hilang, gue ga bisa!"
Jenderal berdecak kesal. Bukan apa-apa dia sangat khawatir tentang saudaranya itu.
Jenderal paham betul, mamanya sangat membanggakan akademik Naka. Oke, ini agan miris, tapi Jenderal tau bahwa mamanya sangat menyayangi Naka karena akademiknya. Makanya dulu dia juga mencoba seperti ikut les les seperti Naka, sebagai seorang anak sangat wajar bukan kalau ingin mendapatkan perhatian Mamanya??
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...