Tentang Hujan

581 87 4
                                    

.

.

.

"Awan itu gak egois, dia cuma mau numpahin semua beban dia aja."

.

.

.

"Liat hahahaha, masih bisa sekolah dia, masih punya muka?"

"Kalo dia gak masuk tim basket sekolah kita pasti menang tuh!"

"Cih, sok pahlawan buat gantiin si Luki, eh ternyata malah nyusahin. Ups."

"Sampe ditonjok Atha ga sih? Hahahaha, Atha yang gitu aja sampe emosi."

"Habis dia keluar lapangan itu katanya dia ke swalayan masa."

"Tapi gue malah liat di swalayan anjim. Bisa-bisanya dia masih main-main."

Itulah yang jelas terdengar oleh telinga Jenderal begitu dia masuk ke sekolah. Sebenarnya badannya masih kurang enak, tapi daripada di rumah Jenderal lebih memilih sekolah. Padahal dia ke sekolah untuk mencari ketenangan, nyatanya ketenangannya malah semakin terusik.

"Heh!" Tiba-tiba seorang cowok menghadangnya sambil mendorong bahunya kasar.

Jenderal hanya menatapnya tanpa ekspresi. Malas menanggapi sebenarnya. Yang Jenderal tau, mungkin lelaki itu mau memaki juga padanya.

"Masih punya muka lo ke sekolah? iya?"

Entah kenapa kalimat itu sudah tak terasa asing baginya. Suara mamanya dulu yang juga melintarkan kata yang sama mendominasi, membuatnya merasa semakin sesak.

"Gara-gara lo reputasi sekolah jadi rusak tau gak!"

Jenderal tak bergeming.

"Harusnya emang gue aja yang gantiin dari awal, gausah lo, bikin susah aja."

"Gelar juara berturut-turut jadi hilang gitu aja karena lo. Mati aja lo."

"Ada akhlak lo ngomong begitu?!" Itu suara Sabda. "Enteng banget nyuruh orang mati. ANJING! Situ manusia?"

"Kayaknya bukan sih, Sab. Yang gini biasanya setan ," tanggap Reza, menyusul di belakang Sabda.

"Lo malah belain dia? Hei, abang lo bahkan gasuka sama dia!" Ucap cowok itu.

"Siapa bilang ga suka? Nonjok adalah salah satu love leanguage.Yang gatau apa-apa diem aja," balas Sabda sewot. "Ya tapi gue juga pengen nonjok Jenderal sih kemaren. Sok kuat, Cih."

Sabda juga marah pada Atha kemarin. Lalu Atha menjelaskan, bahwa ia terbawa emosi saat itu. "Jenderal juga disuruh minggir gamau, kalo ga gue tonjok pasti ambruk di lapangan, makin tepar dia."

"Oi, Jen! Udah sembuh lo? Udah dong pasti, obat Bunda emang paling manjur," Atha muncul dari belakang Sabda, bersama Naka.

"Lah, ngapain rame-rame di sini? Ngalangin jalan! Minggir!" lanjut Atha.

Sabda menatap cowok tadi dengan tatapan penuh kemenangan, menciptakan dengusan kesal dari lawan bicara. Lelaki itu segera berjalan menjauh.

"Lah, ada Naka juga. Ngapain, Ka?" tanya Reza. Kelas 12 sudah libur kan?

"Nggak, mau main aja. Bosen di rumah," jawab Naka. "Jeje beneran udah sembuh?"

Jenderal tersenyum pada saudaranya itu lalu mengangguk pelan.

Sandyakala | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang