.
.
.
.
.
.
Minggu sore itu, Jenderal baru saja pulang dari kerjanya. Dia sudah membayangkan tiduran di kasurnya. Berkelana di alam mimpi. Kepalanya terasa sedikit pusing sejak pagi tadi.
Terlihat mama dan papa baru saja keluar dengan motornya. Setau Jenderal, kedua orang tuanya ingin mengunjungi saudara Mama di pinggir kota.
Jenderal segera masuk ke dalam rumah. Seperti biasa, Jenderal menyempatkan diri untuk menghampiri Naka di kamarnya.
Terlihat Naka yang duduk di meja belajar. Bukan, bukan belajar. Yang dilihat Jenderal adalah Naka yang meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya.
Jenderal menghembuskan napas pelan. Pasti saudaranya itu tengah memaksakan diri untuk berlajar karena besok sudah UN.
"Na..." Jenderal menggoyangkan tubuh Naka perlahan.
"Eungh..." Naka sedikit menaikkan wajahnya.
"Astaga, Nana! Mimisan lagi?!" Jenderal dengan cepat mengambil tisu lalu memberikannya pada Naka.
"Jangan ndongak! Nunduk!" Ucap Jenderal. Ia dengan telaten membantu membersihkan darah dari hidung Naka.
Berbeda dengan Jenderal yang panik, Naka malah bersikap santai seolah tak ada yang terjadi, seolah itu merupakan hal biasa baginya. Selalu saja begitu, pemandangan itu bukan hal yang langka sebenarnya. Tapi ya namanya Jenderal, dengan segala kasih sayangnya pasti dia akan khawatir.
"Aku gapapa kok!"
"Istirahat dulu, Na! Nanti lanjut lagi. Tidur dulu," ucap Jenderal.
Naka menggeleng. "Besok udah UN, Je. Aku harus dapet nilai sempurna."
"Siapa yang mengharuskan? Ga harus sempurna, Na! Lo dapet 90 an aja Mama Papa bangga!" Ucap Jenderal.
"Papa doang. Mama ngga," balas Jenaka.
"Jadi ini tentang Mama lagi? Jangan terlalu keras nurutin ekspetasi orang, Na!" Ucap Jenderal.
Jenderal bukannya mau mengajarkan Naka untuk tidak patuh pada mamanya. Hanya saja menurut Jenderal, Naka tidak perlu sampai memaksakan diri begitu jauh.
"Kamu gak tau, Je! Kamu gak tau kan rasanya jadi harapan semua orang?! Bahkan sekolah naruh harapan lebih ke aku! Semua berharap sama aku!" Ucap Jenaka menggunakan nada tinggi.
Jenderal terkejut. Bukan pertama kalinya Naka seperti itu, tapi sangat jarang. Jika Naka sampai begitu pasti beban pikirannya sudah sangat berat.
"Gue udah pernah bilang, lo gak harus ikutin tuntutan mereka. Hidup juga lo yang jalanin, mereka gak ngerasain jadi lo," ucap Jenderal masih dengan nada lembut.
"Aku gak bisa! Mana bisa aku patahin harapan banyak orang gitu aja? Mereka dari awal udah naruh harapan ke aku!" Wajah Jenaka terlihat kesal.
Jenderal menghembuskan napas. "Siapa suruh dari awal kasih harapan? Ini juga bermula dari lo yang egois kan? Gue tau, Na."
"Kamu nyalahin aku? Setiap manusia bisa egois, Je! Kamu aja yang terlalu naif!"
"Jadi gini akhirnya? Kita kembar, Na. Kembar tapi beda. Gue tau semuanya. Semuanya bermula dari pas gua kena DBD kan?" ucap Jenderal.
"Kamu ngomong apa?"
"Pas gua DBD. Seolah-olah perhatian mama sama papa cuma berpusat ke gue. Lo... cemburu? Gue bisa ngerasain habis itu lo kayak gak peduli ke gue, dan baru balik pas lo berhasil masuk SD duluan dari gue, bikin mama bangga."
Naka terdiam. Dia melakukan itu? Sungguh dia melakukannya secara tidak sadat. Tapi, bohong jika bilang Naka tidak iri saat itu.
Waktu itu, Jenderal terkena DBD yang otomatis harus rawat inap. Orang tua mana yang tidak khawatir? Mama dan Papa langsung membawa Jenderal ke rumah sakit dan selalu ada di sampingnya.
Yang salah adalah mereka melupakan fakta bahwa mereka punya anak lain di rumah. Mama dan Papa terlalu khawatir sampai selalu berada di rumah sakit, meninggalkan Naka di rumah sendiri. Bahkan ia pernah ditinggal 2 hari penuh di rumah, untungnya mama meninggalkan lauk pauk dan cemilan yang banyak. Rumah juga dikunci.
Saat itu, Naka yang kesepian akhirnya memutuskan untuk membuka-buka buku yang beberapa waktu sebelumnya diberi oleh Papa. Yah, bisa ditebak, kemudian Naka menjadi sahabat dengan buku lantas suka belajar dan berakhir mudah mempelajari sesuatu.
Ternyata dari awal pun ini tentang Mama dan Papa ya? Ayolah, anak 4 tahun pasti merasa kesepian dan iri jika sudah begitu kan?
"Gak, sekarang gue gak permasalahin itu. Gue juga paham keadaan lo sih. Kali jadi, lo mungkin gue juga gitu. Gue bisa sendiri, gue gak peduli, gue nyerah. Gue sadar, seberapa besar gue berusaha sekarang, Mama gak pernah ngelirik gue lagi, dunianya mama udah berhenti di lo, Na."
Naka terdiam cukup lama, sebelum akhirnya kembali menghadap mejanya dan kembali belajar. "Diem, Je! Mending ke kamar kamu sana."
Jenderal mulai kesal. "Iya, bagus lo dapet nilai bagus, tapi jangan korbanin kesehatan lo, Na! Lo udah mimisan, itu artinya itu udah kelewat batas kemampuan tubuh lo! Istirahat!"
"Kamu juga! Habis latihan tu pulang! Jangan kelayapan sampe malam gitu!" Balas Naka kesal.
Jenderal sedikit terdiam, rupanya saudaranya itu selalu memperhatikan dirinya. Belakangan ini Jenderal memang lebih sering pulang malam. Apalagi? Tentu saja karena kerja paruh waktunya.
Lelaki itu juga tidak memberitaukan siapapun mengenai pekerjannya. Bukannya malu, tapi dia merasa itu tidak perlu saja. Toh, siapa juga yang akan tertarik pada cerita kehidupannya? Membosankan.
"Gue bisa tahan, see? Sampe sekarang gue baik-baik aja," ucap Jenderal walau dirinya tidak yakin. Dia merasakan pusingnya sedikit bertambah.
Naka menghembuskan napas. "Terserah."
"Kita sama-sama capek, tapi tujuan kita beda. Lo salah kalo lo bilang gue gak egois. Nyatanya gue capek buat diri gue sendiri. Sedangkan lo capek buat menuhin harapan orang lain," ucap Jenderal.
Naka tak bergerak dari tempatnya, membuat Jenderal akhirnya menyerah, kepalanya juga sudah cukup pusing.
"Oke, Fine terserah lo, tapi gak lucu kalo lo sakit disaat orang lain ngerayain keberhasilan lo," ucap Jenderal. "Kita lihat nanti, seberapa puas lo ketika lo berhasil dapet nilai itu."
.
.
.
.
.
[TBC]
07/07/21Abang-abang nct 127 udah lima tahun aja. Padahal dulu awal stan tuh masih rookie banget. Ternyata waktu emang berjalam secepat itu ya? Ga kerasa😭 Berarti gue udah kenal kpop lama banget dong ya... udah 5 tahunan lebih.
Sekarang mereka juga makin dikenal banyak orang. Semoga sukses terus Aamiin.
Oiya, di chapter ini sebenernya mau nonjolin faktor yang buat Naka jadi ambis banget gitu. Segala yang berlebihan itu tetep gak baik gais. Jadi, lakukan semua hal sewajarnya aja, okay?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandyakala | Lee Jeno
Teen FictionSandyakala Gurat merah di langit sore. Pertanda Matahari berganti bintang. Mengingatkan tuk segera pulang. Kaya Jeje, senja itu hebat. Senja itu cuma muncul sebentar saja. Tapi itulah pesonanya, jadi banyak yang nungguin dia. Walau muncul sebentar...