44

1.7K 118 59
                                    

Rabu, 07.50

Suhu di kota Solo pada pagi hari jelas sejuk, siapapun pasti akan memanfaatkannya dengan kegiatan hibernasi sampai siang. Namun nampaknya hawa pagi sekitar dua puluh lima derajat masih belum mampu membuat seorang Suho Adijaya merasakan sejuknya udara. Lihat saja pria ini masih saja mengeluh gerah di tengah tidurnya.

Di sini, yang memang mungkin menerapkan standar mantu idaman harus bangun pagi dan bantu-bantu di dapur (walau bingung harus bantu apa karena ada asisten rumah tangga) membuat Bu Wiena harus bangun dan mandi lebih awal, setelah itu absen muka ke bawah untuk sekedar mengobrol.

Bedanya dengan di rumah, kalau suaminya sudah berangkat, ia akan tidur sebentar lalu baru melakukan kegiatan rumah tangga sekitaran jam sembilan pagi.

"Mas... Bangun. Udah siang, udah jam satu." Ucapnya asal. Sengaja, kalau dibilang masih jam pagi dia malah balik leha-leha lagi. Benar saja, pria itu langsung terbangun dan duduk.

"Jam satu? Kok kamu nggak bangunin aku sih? Kelewatan Zuhur aku." Pak Suho misuh-misuh sampai ketika ia melihat jam di dinding dan baru sadar ini masih jam delapan pagi, makin sewot lah dia.

"Bangun. Disuruh mama bangunin kamu. Kamu doang yang belum turun katanya."

"Mau ngapain sih? Nggak tau apa kita baru sampe subuh tadi."

Bu Wiena mengendikkan bahunya, lalu berjalan menghampiri pria itu setelah menyingkap gorden dan membuka jendela kamar. "AC udah delapan belas, cuma pake boxer doang, masih aja keringetan. Ckckck, kamu emang anak beruang kali ya bukan anak mama. Pake bajunya, trus turun, hayuk buruan."

Pak Suho mendengus, menyambar kaus putih yang ia sampirkan di gantungan lemari. Ia kesal, tapi bukan pada istrinya. Justru biasanya ketika di rumah dan saat libur malah disuruh tidur terus.

"Heh heh, kamu mau keluar cuma boxeran doang?" Cetus Bu Wiena.

Yang namanya orang baru bangun pasti belum kumpul semua nyawanya, arwahnya pun masih belum melekat sempurna pada raga, pria itu hanya terdiam di depan pintu, melirik bagian bawahnya lalu menatapnya bingung dengan mata memincing setengah terpejam, rambut pun masih acak-acakan tak berbentuk. Bu Wiena gemes banget sampe pengen telen suaminya. "Sadar dong... Ini bukan di rumah... Kamu nggak malu pake celana pendek banget? Punya kamu itu loh Mas, nanti pada salfok sama jagoan aku."

"Oh ya."

Bu Wiena terkekeh. "Mandi gih, atau minimal cuci muka lah ya. Di bawah rame banget, tetangga-tetangga sebelah udah pada ke sini."

"Ngapain? Acaranya kan abis zuhur."

"Ya nggak tau. Mama kamu yang undang kali."

"Ck. Ada-ada aja, ribet banget. Heboh mama tuh kalo bikin apa-apa semua orang harus tau." Pak Suho menghela napas. Ia tidak betah, kalau di sini serasa dunianya hanya di kamar saja, dari dulu begitu. Bahkan kalau keluar kamar rasanya harus menyiapkan mental dan batin yang kuat, ia lelah. Itu mengapa ia tidak menyebut ini sebagai rumah, tak ada sudut yang membuatnya nyaman selain kamar sendiri.

"Yaudah... Maklum lah, setaun sekali kan begini. Udah biarin aja, namanya juga buat cucunya. Udah ya aku turun duluan ke bawah. Mau apa? Kopi?"

"Iya boleh. Kamu udah mandi ya?"

"Udah donggg, udah wangi. Emangnya kamu, masih bau susu."

"Ck, apa sih. Bau susu bau susu."

Suara derit pintu kamar mandi terdengar, disusuli dengan gumaman suaminya yang tak terima dibilang bau susu. Tapi serius, Bu Wiena tidak bohong kalau wangi tubuh suaminya ini memang benar-benar seperti aroma susu. Jika pria itu sama sekali tidak memakai parfum atau baru saja bangun tidur seperti tadi, aroma tubuhnya persis seperti susu bayi yang sudah lama di simpan di botol. Tapi sayangnya mas suami malah marah kalau dibilang seperti itu, katanya terkesan seperti anak manja, padahal kan memang iya, cuma nggak mau ngaku aja gara-gara malu aslinya ketahuan.

SEPI - SUHO (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang