42

1.7K 124 156
                                    

Rabu, 17.00

Sore yang amat cerah di kota Bandung nampaknya tak secerah hati seorang wanita yang kini sedang dilanda uring-uringan. Dirinya tengah bermonolog sendiri di dalam kamar sembari mengusap-usap perutnya yang makin hari kian membuncit.

"Kamu kangen Ayah ya, dek? Kangen kan? Ih sama dong, Bunda juga kangen. Gimana nih, masa baru empat hari ribut udah kangen lagi. Capek-capekin aja ya ngambeknya sampe ke Bandung, nggak lagi deh ngambek pake pergi-pergi begini. Abis Bunda kesel sih."

Bu Wiena bangun dari tempat tidur, melangkah gontai dan berpindah ke tepian kasur sambil membolak-balik ponsel di tangannya. "Telfon aja apa ya? Tapi si Ayah belum pulang jam segini..."

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan seorang gadis remaja tanggung di ambang pintu. "Tan, jajan hayuk?"

"Jajan? Ih jajan mulu kamu ah, Rev."

"Ihhh, ayo temeninnn. Enak tau jalan-jalan sore. Ya ya ya? Temenin ya?"

"Heh, kamu nggak liat tante lagi melendung gini? Jauh nggak tempatnya?"

"Ya siapa suruh melendung? Siapa juga yang melendungin? Itu lohhh, lapangan tempat Rama suka beli gundu di situ, ada food truck sekarang."

"Food truck? Keren amat. Bukan food truck kali itu mah, mobil tahu bulat."

"Ga tau. Makanya liat ayo. Dah, aku mau mandi dulu ya tante cantikku."

Bu Wiena berdecih, agak malas namun akhirnya ia turuti. Ponakannya yang satu ini memuji cuma pas ada maunya saja. Tungkainya berjalan keluar kamar setelah mengambil cardigan hitam yang ia gantung di belakang pintu.

Hawa sore kota Bandung selalu mengingatkan ia pada peristiwa 'hampir disosor Pak Suho' dan 'hampir khilaf sama Pak Suho' waktu itu. Ia ingat betul, pertama kali seorang Suho Adijaya menghapus jaraknya. Walaupun akhirnya gagal karena suatu gangguan, tapi yang penting udah berasa dikit.

Tak ia sangka mereka telah berlabuh sejauh ini yang nyatanya tidak selalu berjalan mulus. Ada kerikil dan bebatuan, kadang mulus macam jalanan komplek elit, kadang juga banyak polisi tidurnya. Dan mungkin sekarang mereka sedang dihadapi dengan jalanan yang lagi dicor, mulus tapi belum boleh dilewati.

Bu Wiena menggeleng, pikirannya jadi ngalor ngidul. Tubuhnya mendarat di sebuah kursi teras, di sampingnya ada sang kakak yang sedang sibuk main shopee tanam.

"Mau kemana lo pake cardigan? Ibu hamil jangan keluar magrib-magrib." Ucapnya tanpa beralih dari layar ponsel.

"Reva mau ngajak gue jajan katanya. Belom sore banget ini, gue juga bete."

"Lagian, pake segala ribut sih lo."

"Gak tau. Kesel banget pokoknya gue. Berasa emosi gue diubun-ubun tuh keluar semua."

"Terus sekarang?"

"Nyesel."

"Nah kan." Tiffany menjentikkan jarinya, menyeruput secangkir teh chamomile biar vibesnya kayak putri kerajaan padahal mah putri malu. Malu-maluin. "Lo nggak bakal bisa ngerti, nggak bakal bisa ngerasain. Keluarga kita tuh Alhamdulillah family friendly happy kiyowo, beda sama dia. Ya dia juga salah sih nggak bilang-bilang, ngeberhentiin lo secara sepihak. Cuma ya... Ah wajar lah ya ribut-ribut mah, umur pernikahannya juga masih belum genap setahun, masih proses adaptasi."

"Ya lo bayangin Teh, Senin hari ini tuh gue harusnya bagi rapot, ketemu sama anak-anak kelas yang bahkan gue belom sempet liat mukanya. Tau tau dia langsung bilang kayak gitu, ya gue jelas marah lah. Dia nggak ada ngomong sedikitpun tentang itu sama gue. Kebiasaan, ada apa atau kenapanya dia tuh nggak pernah bilang, tiba-tiba seenaknya aja ambil keputusan. Gue emang bakalan nurut-nurut aja sih, cuma ya minimal bilang dulu baik-baik gitu... Kan nggak selamanya gue setuju."

SEPI - SUHO (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang