36

1.5K 151 183
                                    

Selasa, 09.30

"Ini kok donat bentuknya nggak karuan begini, Rev?"

"Yang penting kan rasanya, Mah."

"Ohh... iya ya." Teh Tiffany yang lagi sibuk goreng donat hasil buatan anak anaknya tadi malam itu hanya bisa ngangguk pasrah. Ada yang bentuknya kotak, bulat, segitiga, jajargenjang, trapesium, belah ketupat, layang-layang, lope-lope, banyak deh. Heran, ini donat apa cireng isi sih sebenernya.

"Segini dulu ya gorengnya? Buat sarapan aja, abis Zuhur kita kan pulang."

Bu Wiena yang sedari tadi hanya duduk termenung di meja makan itu spontan mengerucutkan bibirnya sambil meluk Rama yang lagi ngerjain tugas menggambar. "Jangan pada pulang dong... Nginep aja dulu di sini ya? Terserah deh ini rumah mau diberantakin juga gapapa yang penting tante nggak sendirian. Ya, Ram, Rev? Masih daring ini kan?"

"Anak-anak gue taro sini terus gue pulang gitu? Ya gue sih gapapa, tapi sama bapaknya yang enggak boleh." Ujar Tiffany sembari menaruh piring berisi donat berbagai bentuk itu di atas meja.

Diliriknya isi piring bundar tersebut dengan tatapan nanar. Kan, jadi inget si Adijaya kalau main ke rumah sering bawa donat atau nggak serabi. Kadang juga dia bawa ke sekolah, katanya beli di depan perumahan, abis itu nanti dipisahin yang buat dia sendiri sama buat dibagi-bagi. Badan doang keker, muka doang sangar, sukanya makan donat mesis warna warni. Gimana Bu Wiena nggak gemes coba?!

"Mentahnya masih ada nggak?"

"Masih, di kulkas. Makan tuh, enak kok lumayan buatannya Reva. Cuma manis banget ini Rev, mau bikin mama kamu diabetes ya? Berapa sendok sih?"

Reva melirik ke atas seraya menghitung jarinya. "Enem, tujuh,... Delapan, Mah. Delapan sendok."

"Sendok teh?"

"Sendok sayur."

"Wow... Pulang dari sini mama mau cek gula darah deh." Ucap Tiffany lalu menyenggol pelan lengan sang adik. "Mangga dicobian atuh aunty... Jangan galau mulu. Sembuh pasti sembuh laki lo itu, positif thinking aja. Bengep banget tuh mata lo kayak abis ditonjokin, cuci muka gih sana."

"Dia demen nih donat begini, tapi musti pake mesis, yang polos nggak suka."

"Terus, mau dibawain ke sana?"

"Emang bisa?"

"Ya nggak lah. Ribet pasti. Jauh tau ke Kemayoran cuma mau nganter donat sepuluh biji, lewatin tol dulu lagi. Belum tentu pas di sana dibolehin."

Mendengarnya ucapan kakaknya itu, Bu Wiena semakin uring-uringan. Sembari bertopang dagu, ia bergumam. "Di sana dia makannya gimana ya? Suka nggak ya sama menu yang dikasih? Tidurnya nyaman nggak ya? Gerahan kan dia orangnya, dikit dikit keringetan, dikit dikit nyari minum dingin."

"Dikit-dikit buka baju gak?" Tanya Tiffany dengan wajah santainya. Bu Wiena pun auto melotot.

"Lo jangan ngomongin hal yang nggak-nggak dulu dong. Gue belom nikah nih, masih riweuh."

"Dihhh. Justru itu, gue ajarin supaya nanti lo keliatan aduhai di mata mas suami."

"Ck. Abah di rumah juga gimana ya? Gue telfon Baejin nggak diangkat-angkat. Apa lagi zoom sama dosennya ya tuh bocah?" Bu Wiena menghela napas gusar, lalu merebahkan kepalanya di meja. Ia benamkan wajahnya di antara lipatan tangan. "Ini kenapa sih jagoan-jagoan gue pada sakit..."

Tiffany spontan mengernyit dan menatap adiknya penuh tanda tanya sekaligus julid. "Kalo Abah yang lo bilang jagoan gue iyain, karena bapak kita. Nah Kalo Suho gue bingung nih, jagoan apanya? Jagoan neon?"

SEPI - SUHO (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang