43

1.6K 113 106
                                    

20.40

"Kamu mau bilang gimana sama Abah, ay?"

"Ya ngobrol aja. Masa aku nggak ada omongan sama sekali? Main pergi ninggalin kamu di Bandung. Seenggaknya aku ngomong kalo anaknya mau aku tinggal kerja jauh."

Bu Wiena mengangguk pelan, sedikit tertegun dengan sikap gentle suaminya ini. "Kamu tuh kalo sama Abah suka takut nggak sih?"

"Takut? Bukan takut kali, tapi segan. Maksud aku segan tanda hormat bukan segan yang malas." Pak Suho menoleh sekilas lalu kembali fokus menyetir.

"Ohh... Soalnya kan kayak ada tuh kadang suami-suami yang suka canggung sama mertuanya."

"Sekarang aku balikin, kamu suka takut nggak sama orang tua aku? Terutama papa aku."

"Hah? Em... Takut sih, maksudnya kayak canggung gitu. Kalo sama mama sih nggak terlalu."

"Sama aku juga."

"Hah?"

"Ya sama aku juga takut sama orang tua aku sendiri. Saking takutnya kadang aku nggak mau ketemu lagi." Lihat istrinya yang kebingungan menunggu jawaban, Pak Suho spontan terkekeh hambar. "Kalo aja karma itu nggak ada ya, mungkin aku udah pergi jauh, putus semua tali hubungan sama keluarga aku, terutama ya... sama papa ya, Yang. Tapi kalo nggak ada mereka juga aku nggak bisa ada di sini sekarang. Aku kadang juga suka mikir, kalo aku nggak punya hubungan yang baik sama orang tua, takutnya aku juga digituin sama anak-anak aku nanti. Karma itu pasti, pasti ada. Kita kan nggak selamanya muda, anak juga nggak selamanya kecil terus. Nanti dia tumbuh besar, punya dunianya sendiri, lambat laun juga lupa sama kita."

"Enggak lah, Mas... Jangan sampe."

"Nah ya itu. Pokoknya anak aku jangan sampe kayak ayahnya, harus punya kehidupan yang lebih baik. Karena aku udah gagal jadi anak, udah gagal juga jadi saudara. Sekarang tinggal jalanin sisanya, aku nggak mau gagal jadi suami apalagi gagal jadi ayah."

Bu Wiena mengangguk lemah. Selalu ada rasa kagum ketika suaminya ini sedang mode banyak bicara mengungkapkan isi kepalanya. Pola pikirnya yang sederhana namun tepat mengenai sasaran, cara bicaranya itu pun juga bagian dari pesona yang membuat siapa saja bisa jatuh cinta seketika.

Ia jadi berandai-andai, kalau saja dirinya tidak lahir dan berjodoh dengan pria ini, lantas siapa yang akan mendampingi Suho Adijaya selain dirinya?

Mungkin suaminya akan bermesraan dengan perempuan selain dirinya, bermanja dengan perempuan yang bukan dirinya, melemparkan senyum konyol dan sisi manis kepada perempuan yang bukan dirinya. Ia mencebik, membayangkannya saja Bu Wiena jadi kesal.

Sementara Pak Suho sontak melirik bingung ketika istrinya itu melayangkan tatapan sinis, lagi-lagi ketika lengannya dicubit tiba-tiba. "Aduh! Apa sih!"

"Aku mau nanya. Kamu harus jawab jujur sejujur-jujurnya orang jujur."

"Jujur sejujur jujur jujurnya jujur orang jujur apa sih, Yang. Belibet kamu."

"Kamu kalo misalnya aku nggak ada di dunia ini, atau misalnya aku nggak ketemu kamu, kira-kira kamu lagi ngapain? Terus kira-kira kamu nikahin perempuan lain nggak?"

Pak Suho diam, melihat sekeliling. Mencoba mencari hal yang menarik di jalan namun sayangnya tidak ada bahan yang bisa dibuat pengalihan isu dari pertanyaan jebakan tersebut. Mungkin ini saatnya mengeluarkan jawaban andalan. "Nggak tau."

"Kok nggak tau?"

"Ya nggak tau lah. Kalo aku nggak ketemu kamu, aku pasti nggak tau. Kan semua jawaban dari hidup aku ada di kamu."

Demi kerang ajaib. Bu Wiena yakin betul suaminya tadi memberinya finger heart sign sambil menaik-turunkan alisnya. Memang iya kalau dia selalu ingin sang suami lebih romantis dari sebelum-sebelumnya, namun kalau malah jadi cringe begini, sepertinya lebih baik suaminya mode kulkas tujuh pintu saja alias mode dingin, manis, dan menyegarkan.

SEPI - SUHO (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang