6

97 14 2
                                    

Yeorin.

"Jangan sentuh makanan itu, Yeorin. Itu milik kakakmu. Itu favoritnya. Kau tahu itu. Mengapa kau selalu mencoba dan membuangnya? Mengapa Yeorin? Mengapa kau melakukan itu padanya? Jadilah gadis yang baik, Yeorin."

"Tapi eomma baunya tidak enak. Sudah basi dan ada lalat- "

"DIAM! DIAM! Pergi ke kamarmu. Kami tidak ingin kau di sini. Yang kau lakukan hanyalah mengeluh. Pergi ke kamarmu."

"Eomma, tolong... Mari kita berikan dia makanan yang baru, yang ini sudah basi, membuat seluruh rumah berbau tidak enak."

"Dia ingin kau membiarkannya sendiri. Dia datang untuk memakannya. Pergi saja ke kamarmu, Yeorin. Nyanyikan lagu yang bagus. Satu yang bisa kita nikmati bersama."

Aku tidak ingin menyanyikan lagu. Aku ingin membuang makanan busuk. Aku menggelengkan kepala dan mulai memprotes ketika dia mencengkeram leher ku dan mulai mengguncang ku.

"Aku menyuruhmu bernyanyi, Yeorin. Tinggalkan makanan kakakmu sendiri. Itu miliknya, dasar anak nakal yang egois." Dia berteriak dengan suara nada tinggi.

Aku menarik tangannya dan berjuang untuk udara. Aku tidak bisa bernapas. Dia akan mencekikku. Tetesan sesuatu yang basah menyentuh pipiku dan aku mendongak untuk melihat darah menghujani diriku. Itu darahnya. Itu darah ibuku. Menatap tangan ku, aku melihatnya berlumuran darah. Aku berbalik untuk menangis minta tolong tetapi tidak ada orang di sana. Aku sendirian.

Selalu sendirian.

.
.
.

Aku duduk tegak di tempat tidur saat jeritan merobek dadaku.

Membuka mata, aku melihat di lingkungan yang tidak dikenal. Jendela besar di depan ku menunjukkan sinar matahari pagi menari-nari di atas ombak laut.

Aku mencengkeram selimut di tanganku dan menarik napas dalam beberapa kali. Aku tidak kembali ke rumah itu.

Aku aman.

Semuanya baik-baik saja. Tubuh ku bergetar ketika aku duduk diam dan menyaksikan keindahan yang telah ku rasakan.

Aku tidak tahu apakah ingatan ku pada akhirnya akan hilang atau apakah suatu hari ingatan itu akan menghabisi ku. Sampai saat itu, aku harus hidup. Setiap kali aku berpikir untuk pulang dan menyerah dalam perjalanan ini untuk menemukan diriku sendiri, aku memiliki mimpi untuk mengingatkan ku mengapa aku harus melakukan ini.

Waktu ku terbatas.

Sambil membuka selimut, aku berjalan ke kamar mandi untuk mandi. Keringat yang menutupi tubuh ku dari mimpi buruk membuat kaos ku menempel di kulit ku yang lembab. Setiap pagi selama delapan tahun terakhir aku bangun seperti ini.

.
.
.

Akhir hari kedua di tempat kerja dan aku tidak melihat Jimin sejak aku keluar dari kantornya.

Aku mulai berpikir dia menghindari ku. Mungkin itu yang terbaik. Dia adalah bos ku dan aku sudah merasakan betapa buruknya berkencan dengan bos. Ku kira Jimin memastikan kita melupakan masa lalu kita.

Mengingat Jimin telah memberi ku orgasme pertama ku yang enak membuatnya sedikit sulit tetapi aku bisa melakukannya.

Aku siap untuk menikmati hidup, tidak khawatir atau menginginkan hal-hal yang tidak dapat ku miliki. Ini seharusnya menjadi perjalanan tanpa beban yang menyenangkan. Sudah saatnya aku mulai membuatnya.

Jihoon benar-benar menghalangi rencanaku. Dia juga mengajari ku bahwa pria bisa jadi babi. Aku perlu mengingat itu.

Seorang berambut cokelat menarik dengan senyum tulus melangkah keluar dari mobil mewah yang diparkir di sebelahku. Fokusnya ada pada ku. Aku berhenti saat dia menutup pintu mobilnya dan berjalan ke arahku.

Twisted PerfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang