41

66 8 12
                                    

Yeorin.

Dia masih belum menangis. Tidak ada emosi sama sekali. 

Aku benci itu. Aku ingin dia berduka. Dia harus mengeluarkannya daripada memendam emosinya karena aku. 

Gagasan bahwa Jimin mengeras terhadap rasa sakitnya karena dia melindungi ku membelit usus. Ayahnya telah mengkhianatinya dengan mengirimku pergi. Tapi aku melihat sorot mata Jimin saat dia memandang ayahnya, mencari persetujuan. Dia mencintai ayahnya. Dia harus berduka atas kehilangannya.

"Yeorin?" Aku berbalik untuk melihat Jimin masuk ke ruang tamu. 

Matanya mengamati ruangan sebelum menemukanku berdiri di luar di balkon. Dia segera menuju pintu. Ada tekad di matanya yang membuatku khawatir. Dia membuka pintu dan melangkah keluar.

"Hei, apa semuanya berjalan baik-baik saja?" Aku bertanya sebelum dia menarikku ke pelukannya dan memelukku erat-erat. 

Jimin telah melakukan banyak pelukan selama seminggu terakhir.

"Dia berduka. Kita akan bicara lagi begitu dia punya waktu untuk memproses semuanya," ucapnya ke rambutku. "Aku merindukanmu."

Dia yang Jimin maksud adalah ibunya.

Aku tersenyum sedih dan mundur agar aku bisa menatapnya. "Kau pergi sekitar satu jam. Tidak banyak waktu untuk merindukanku."

Jimin mengusap rambutku, menyisirnya, lalu menangkupkan wajahku. "Aku merindukanmu begitu aku keluar dari pintu itu. Aku ingin kau bersamaku sepanjang waktu."

Sambil tersenyum, aku menoleh dan mencium tangannya. "Aku tidak bisa selalu bersamamu."

Mata Jimin menjadi gelap karena sesuatu yang ku kenali dengan baik. 

"Tapi aku ingin kau bersamaku." Dia menyelipkan salah satu tangannya di pinggangku, menarikku ke tubuhnya. "Aku tidak bisa berkonsentrasi saat aku tidak cukup dekat untuk menyentuhmu."

Aku menyeringai saat aku mencium bagian dalam pergelangan tangannya. 

"Saat kau menyentuhku, kita cenderung terbawa suasana."

Tangan Jimin menyelinap ke bawah kemejaku dan aku menggigil saat dia mendekatkannya ke dadaku. "Saat ini aku ingin terbawa suasana."

Aku ingin juga. Aku selalu menginginkan itu, tetapi Jimin perlu bicara. Dia perlu mengatakan sesuatu.

Teleponnya berdering, mengganggu kami berdua.

Wajahnya menegang dan Jimin melepaskan tangannya dari balik kemejaku dengan enggan sebelum merogoh sakunya untuk mengeluarkan ponselnya.

"Halo," katanya dengan nada bisnisnya. Dia menatapku dengan nada meminta maaf. "Aku akan tiba di sana dalam lima menit. Katakan padanya untuk menemuiku di rumah ayahku, di kantorku."

Dia kesulitan menyebut kantor ayahnya sebagai miliknya. Itu hanya sekilas tentang rasa sakit yang dia abaikan.

"Itu Yunjung-ssi. Ada beberapa anggota dewan di kota dan mereka ingin bertemu dengan ku dalam satu jam. Deokjin-ssi, penasihat dan sahabat ayah ku, ingin memberi pengarahan kepada ku terlebih dahulu. Maaf," katanya, menjangkau tanganku dan menarik ku ke arahnya.

"Jangan. Tidak ada yang perlu disesali. Jika ada yang bisa aku lakukan untuk membantumu, maka aku akan melakukannya. Katakan saja padaku."

Jimin terkekeh. "Jika aku bisa membiarkanmu di kantorku sepanjang hari bersamaku, maka aku akan melakukannya."

"Hmmm... Kurasa kau tidak akan menyelesaikan banyak pekerjaan."

"Aku tahu aku tidak akan melakukannya," jawabnya.

Twisted PerfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang