Seokjin menghela nafas dalam dalam. Wah, terasa berbeda. Fikirnya senang. Bahkan udara terasa berbeda. Meskipun dia sudah lama merasa sendirian selama Hana masih berstatus sebagai pacarnya, tetapi setelah hubungan mereka benar benar berakhir, ada kelegaan yang luar biasa disana. Terasa seperti dia akhirnya terbebas. Aroma kebebasan -meskipun Yoongi akan menyebutnya sebagai aroma kejombloan- terasa sangat kuat. Akhirnya Seokjin bisa lepas dari belenggu yang mengikatnya.
Awalnya Hana tidak bisa menerima itu dengan baik. Dan Seokjin membiarkan dirinya di caci maki meskipun darahnya terasa mendidih. Seokjin berusaha menahan amarahnya, dan menjelaskan dengan masuk akal kalau memang tidak ada yang bisa di pertahankan dalam hubungan mereka. Sudah berakhir sejak lama. Hanya akan menyakiti keduanya saja jika terus di paksakan.
Seokjin mengatakan pada Hana bahwa Hana tidak cukup mencintainya karena wanita itu bahkan tidak mau berkorban untuknya, menyempatkan waktu untuk menemui Seokjin, mencoba menerima Seokjin dengan segala kekurangannya termasuk saudara saudaranya. Sementara Seokjin dahulu selalu mengutamakan Hana. Terkadang sampai mengabaikan perasaannya hanya agar Hana senang, nyaman. Menelan saja ketika Hana mengatakan hal hal tidak menyenangkan tentang saudara saudaranya.
Tapi tidak lagi. Seperti yang Seulgi bilang kemarin, bahwa ia juga harus mulai memikirkan apa yang layak ia dapatkan. Ia layak berbahagia, dicintai. Dan saudara saudaranya adalah orang yang selalu ada di sampingnya dalam keadaan apapun. Menerimanya dalam segala kondisi, memberikannya kasih sayang dan dukungan tanpa syarat.
Bagaimana mungkin ia mementingkan wanita yang tidak bisa menerima saudara saudaranya? Wanita bisa datang dan pergi tetapi saudaranya akan ada di hidupnya selamanya.
Jadi, dia dan Hana lebih dari sekedar selesai.
Seokjin masuk ke ruang guru. Suasana disana sepi karena masih dalam jam belajar. Hanya beberapa orang yang ada di meja mereka. Seokjin melangkah menuju kubikalnya dan tersenyum melihat Jisoo duduk di mejanya. Kening wanita itu berkerut seperti tengah memecahkan soal yang sulit.
"Ada apa, Bu Kim?"
"Oh, Pak Kim." Jisoo mendongak sebentar, lalu kembali fokus pada komputernya, "Kenapa tidak bisa juga ya? Ah, mau menangis rasanya." Gumamnya. Bola matanya bergerak gerak memelototi layar tapi tak kunjung bisa menemukan penyelesaiannya. Ini gawat. Dia harus segera menyelesaikan ini kalau tidak Heechul akan menceramahinya.
"Coba saya lihat."
Jisoo nyaris berteriak ketika merasakan udara hangat di telinganya. Dia menoleh dan mendapati wajah Seokjin sangat dekat. Rambut lelaki itu menggelitik pipinya.
Dan ketika Seokjin menoleh padanya, jarak antara wajah mereka hanya terpaut beberapa centimeter. Nafas Seokjin menerpa wajahnya lembut.
Pria itu tersenyum. Sinting. Dia masih bisa tersenyum di saat seperti ini yang mana Jisoo sendiri sudah nyaris gagal jantung.
"Jangan menangis. Saya akan membereskannya untuk anda." Ucap Seokjin pelan. Lalu kembali mengarahkan fokusnya pada komputer Jisoo, "bernafas Bu Kim." Godanya geli.
Jisoo kembali bernafas, buru buru memberi jarak yang wajar. Matanya memindai sekilas, memastikan bahwa tidak ada yang memergoki mereka.
"Tidak ada yang melihat." Ucap Seokjin, mengetahui pergerakan Jisoo, "saya juga tidak senekat itu." Ucapnya sambil menggerakkan tetikus dengan lincah.
Wajah Jisoo menghangat, "anda membuat saya kaget."
Sudut bibir Seokjin naik, "bagus. Saya berniat terus membuat anda kaget sehingga anda lengah dan saya bisa masuk ke hati anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
BELAHAN JIWA
FanficDunia Kim Seokjin tiba tiba terbalik. Dia terpaksa keluar dari kehidupan nyamannya. Dan karena itu ia bertemu dengan Kim Jisoo. Seokjin pun mulai mengenal Jisoo dan mulai tertarik padanya. Padahal, seseorang sudah ada di sisinya selama ini. Bisakah...