Suasana awal pekan di dalam sebuah perusahaan developer yang terletak di pusat kota Bandung, terlihat lebih sibuk dari biasanya. Alasannya karena perusahaan itu baru saja memenangkan tender dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, untuk membuat tiga tower apartemen bersubsidi yang diperuntukan bagi rakyat menengah ke bawah.
Anata Dewangga, pemilik perusahaan bernama Anata Design Inc Architect And Build itu, memperhatikan milimeter blog berisi sketsa bangunan yang dibuat oleh Sakhi, bawahannya yang tergabung dalam tim desain.
"Jadi ini hasil kerja lo selama tiga minggu ini? Kayak gini doang hasilnya?" tanya Nata, menatap Sakhi dengan tegas.
"Memangnya bagian mana yang salah, Bos?" Pemuda itu memberanikan diri bertanya.
"Lo nggak sadar dengan kesalahan lo?"
Sakhi menggelengkan kepala.
"Coba lo perhatikan baik-baik sketsa ini. Apa lo memikirkan keselamatan bangunan waktu lo bikin desainnya?"
Sudah pasti, pertanyaan yang menyudutkan itu membuat Sakhi gelagapan di tempat. "Tapi, hasilnya ini udah gue maksimalkan, Bos."
"Bagian mana yang lo maksimalkan? Survey lapangan sudah menjelaskan kalau daerah proyek yang mau kita garap ini rawan gempa, dan gue perhatikan, desain yang lo buat ini nggak mempertimbangkan isu itu sama sekali. Sebuah bangunan nggak bisa asal dibangun, Sakhi. Harus ada penanggungjawab arsitek. Apa kejadian amblasnya proyek hambalang nggak bisa dijadikan pelajaran untuk kalian agar selalu memperhatikan
sustainable arsitektur?"Sakhi cepat-cepat menyangga, "Masalahnya, anggaran yang diajukan terbatas, Bos. Kita nggak bisa berbuat banyak dengan anggaran seminim itu. Apalagi waktu yang dikasih mepet banget."
"Kalau gitu lo buat desain yang lebih dinamis tapi kokoh. Walaupun anggaran terbatas, kita tetap nggak boleh melewati bagian prakonstruksi yang mencakup studi kelayakan dan studi dampak lingkungan. Ini akan menjadi masalah yang cukup besar kalau kita abaikan begitu aja."
Kali ini, pemuda itu hanya bisa tertunduk lesu di tempatnya karena tidak mampu lagi menyangga.
"Kalau lo merasa nggak sanggup, it's ok. Gue bisa kasih project ini buat tim yang lain."
Sudah pasti, pernyataan itu memancing reaksi penolakan dari Sakhi. "Jangan dong, Bos!" serunya. "Kasih gue kesempatan buat memperbaiki kesalahan gue. Gue janji, rancangan yang kedua nanti nggak akan mengecewakan. Gue akan bikin sesuai yang Bos perintahkan."
Nata menanggapi pernyataan Sakhi dengan skeptis. "Lo yakin?" tanyanya.
"Yakin banget, Bos. Tolong...jangan kasih project ini ke tim lain. Project ini penting banget buat karir gue."
"Oke. Gue kasih lo kesempatan buat memperbaiki kesalahan lo, tapi, waktunya cuma satu minggu. Lebih dari itu gue akan langsung pindahkan project ini buat tim yang lain walaupun tanpa persetujuan lo."
"Satu minggu?" Sakhi semakin kelabakan.
"Hari Senin, jam sembilan pagi, gue mau rancangan desain baru yang lo buat udah ada di meja gue," ucap Nata, tak bisa lagi dibantah. Bertepatan dengan itu, ponselnya berdering. Ada panggilan dari mamanya.
"Sekarang lo boleh keluar. Gue mau jawab telepon dulu."
Mau tidak mau Sakhi mengangguk setuju tanpa ada kesempatan menawar lagi. Pemuda 25 tahun itu membawa langkahnya keluar dari ruangan bosnya dengan kepala tertunduk lesu, memikirkan keruwetan yang harus ia lalui saat membuat rancangan desain baru.
Diam-diam Nata tersenyum di belakang Sakhi. Anak muda itu memang harus dipecut lebih dulu agar dapat memaksimalkan semua kemampuannya.
Setelah kepergian Sakhi, Nata meraih ponselnya di atas meja dan menjawab panggilan dari mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapkah Aku Jatuh Cinta Lagi?
Storie d'amoreAnata Dewangga masih betah menduda setelah kematian istrinya saat melahirkan. Dia tetap keras kepala dengan keyakinan bahwa ia mampu membesarkan anaknya seorang diri. Namun, sebuah kejadian membuatnya merenungi ulang keputusan untuk tetap melajang...