Pagi itu Natasha duduk di meja makan sendirian, menikmati seduhan susu khusus ibu hamil sambil memandangi pemandangan mini garden milik ibu mertuanya di halaman belakang rumah.
Berbagai macam pikiran menguasai benaknya saat ini. Namun, yang lebih mendominasi adalah ucapan Nata yang masih terus terngiang di telinganya. Seperti tikaman belati tajam yang mampu mengoyak hatinya hingga dalam.
Apabila hidup diibaratkan sebuah panggung drama, tentu drama yang Natasha lakoni saat ini adalah drama paling buruk dalam hidupnya. Dalam perspektif imajinasinya, Natasha selalu membayangkan kehidupan pernikahan yang seindah cerita dongeng. Happily ever after hingga mereka tua dan mati bersama.
Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Pernikahan yang ia jalani sekarang seolah hanya sebagai siklus hidup yang mau tidak mau harus ia jalani. Bertemu, bersama, lalu saling menyakiti. Seunik itukah semesta menitipkan luka?
Saking asyiknya melamun, Natasha sampai tidak menyadari kehadiran seseorang yang entah sejak kapan berdiri di sebelahnya. Dia mengerjapkan mata ketika sepasang tangan yang penuh kerutan mengusap bahunya dengan lembut.
"Jangan kebanyakan melamun, Ta," tegur Hani.
Natasha merespons dengan kekehan sambil menyeka sudut matanya yang basah. "Maaf, Ma. Saking keasyikan melamun sampai Tata nggak sadar ada Mama."
"Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu, lebih baik meditasi aja supaya kamu bisa membuang semua pikiran-pikiran negatif dan hati kamu jadi lebih tenang. Mama juga suka seperti itu."
Natasha memaksakan senyum dan mengangguk. "Mama mau sarapan? Tata udah bikin omelette. Biar Tata siapin dulu, ya?"
Hani lebih dulu mencegah. "Kamu duduk di sini aja, Mama bisa bikin sarapan sendiri."
"Nggak apa-apa, Ma. Biasanya juga Tata yang siapin sarapan."
"Nggak usah, Ta." Lagi-lagi Hani menolak. "Kamu itu lagi hamil muda, jangan terlalu banyak aktivitas."
Sudah pasti ucapan itu membuat Natasha tergagap. "Mama tahu Tata hamil?"
Hani mengangguk. "Mama dengar pertengkaran kamu dan Nata tadi malam. Mama harap kamu jangan terlalu memikirkan ucapan Nata, yang penting kamu fokus saja dengan kehamilan kamu."
Tanpa bisa dicegah, bulir air mata itu mengalir dengan sendirinya. Seolah menjadi saksi dari sakit hati yang Natasha rasakan sekarang. "Tata juga nggak mau terlalu menanggapi ucapan Nata, tapi Tata nggak bisa bohongi diri sendiri kalau hati Tata udah terlanjur sakit, Ma."
"Mama paham, Ta. Mama nggak akan membela Nata karena dia anak Mama. Seburuk apa pun kondisi yang pernah dia alami dulu, dia nggak berhak memperlakukan kamu seperti ini."
"Menurut Mama Tata harus gimana sekarang? Tata bingung, Ma. Tata nggak yakin apa Tata bisa bertahan dengan situasi ini."
"Do whatever makes you happy, and be with whoever makes you happy, Ta. Mama nggak mau kamu bertahan di sini karena merasa punya tanggung jawab, tapi hati kamu nggak bahagia. Carilah tempat di mana kamu bisa dihargai, bukan hanya sekedar dibutuhkan."
Natasha menangkup wajahnya dengan kedua tangan saat kembali menangis. Tidak biasanya dia secengeng ini. Namun, kali ini Natasha tidak bisa mengendalikan hal itu. Seolah air matanya mengalir dengan sendiri.
"Sudah, sudah," bujuk Hani sambil mengusap-usap bahu Natasha untuk menenangkan. "Jangan nangis terus. Kasihan anak kamu, dia pasti ikut sedih kalau ibunya sedih. Sekarang kamu tarik napas yang dalam."
Natasha mengikuti perintah ibu mertuanya. Dia memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam dan melakukannya berulang kali. Hal itu berhasil membuat keadaannya lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapkah Aku Jatuh Cinta Lagi?
Storie d'amoreAnata Dewangga masih betah menduda setelah kematian istrinya saat melahirkan. Dia tetap keras kepala dengan keyakinan bahwa ia mampu membesarkan anaknya seorang diri. Namun, sebuah kejadian membuatnya merenungi ulang keputusan untuk tetap melajang...