Sembilan Belas

8.2K 885 51
                                    

Nata memasuki ruangan kerjanya setelah memimpin rapat bulanan kantor yang ternyata memakan waktu lebih lama dari biasanya. Jam digital di mejanya sudah menunjukan pukul satu siang, dan dirinya belum makan apa pun sejak pagi.

Sudah dua bulan belakangan ini Nata terbiasa dengan kehadiran Natasha yang selalu siap melayani semua kebutuhannya, sehingga membuatnya kesulitan untuk beradaptasi dengan keadaan sekarang.

Nata menyadari hidupnya mengalami kemunduran yang parah. Namun, dia tidak punya kuasa melawan itu dan hanya bisa pasrah mengikuti ke mana takdir akan membawanya. Bahkan untuk sekadar berharap pun dia tidak berani karena rasa trauma masa lalu yang masih terus membayangi.

Pria itu baru saja menempati kursinya yang nyaman ketika wired intercom di mejanya berbunyi. Panggilan dari resepsionis kantor.

"Pak Nata, ada Bapak Narendra di ruang tunggu yang mau ketemu Bapak."

Nata tidak perlu bertanya untuk tahu bahwa Narendra yang dimaksud resepsionis adalah adik iparnya. Dan dia sudah bisa menebak tujuan Narendra menemuinya.

"Dia adik ipar saya. Langsung antar ke ruangan saya aja ya, Mir," perintahnya.

"Baik, Pak."

Tidak berselang lama, pintu ruang kerjanya diketuk dari luar dan dibarengi munculnya Anya bersama Narendra di belakangnya.

"Nat, kok lo nggak cerita sama gue kalau Tata lagi hamil?" serbu Anya saat memasuki ruangannya. "Kalau Naren nggak cerita, gue nggak bakalan tau kalau Tata hamil."

"Gue lupa," jawab Nata, tak acuh.

"Bini lo juga sama aja. Ada berita bagus kayak gini bukanya bilang-bilang, malah pada diem aja."

Narendra langsung menyahut, "Belum empat bulan, Kak, jadi nggak boleh cerita-cerita dulu.  Pamali kalau kata orang tua jaman dulu," kelakarnya.

"Halah! Kakak ipar kamu mana paham konsep pamali, Ren."

Narendra terkekeh, sementara Nata bersikap tidak peduli.

"Ya udah, Kak Anya tinggal dulu ya, Ren?"

Narendra mengangguk. "Makasih, Kak Anya," ujarnya sebelum Anya keluar dari ruangan itu dan menutup pintunya rapat-rapat.

Sepeninggalan Anya, Nata langsung beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri Narendra. "Duduk, Ren?" ujar Nata sambil menunjukan sofa di ruangannya. "Mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, Mas. Gue datang ke sini karena ada hal penting yang harus gue bicarakan tentang Mbak Tata."

Nata mengambil tempat di hadapan Narendra. "Gue tahu apa yang mau lo bicarakan," ujarnya.

"Bagus kalau lo udah tahu maksud kedatangan gue. Itu artinya, lo juga udah tahu kalau Mbak Tata sekarang lagi hamil?" tembak Narendra tanpa perlu basa-basi.

"Tentu aja gue tahu."

"Kalau memang tahu, kenapa lo segampang itu lepasin Mbak Tata dan biarin dia pergi dari rumah?"

Helaan napas Nata yang terdengar berat, cukup meyakinkan Narendra jika keadaan pria itu tidak lebih baik dari kakaknya.

"Gue punya alasan, dan Natasha tahu kenapa gue memilih keputusan ini," jawab Nata ringkas.

"Gue nggak mau tahu permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga kalian karena itu privasi kalian, gue cuma nggak habis pikir kenapa lo bisa semudah itu membiarkan Mbak Tata keluar dari rumah dalam keadaan hamil. Terus tujuan lo menikahi kakak gue itu untuk apa kalau akhirnya lo tinggalkan dia begitu aja? Apalagi saat dia dalam keadaan hamil."

Siapkah Aku Jatuh Cinta Lagi?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang