"I overheard you guys talking about me," ujar Nata, menatap Natasha dan Anya secara bergantian.
Sementara Natasha duduk tegap karena dilanda kegugupan, Anya malah mengangkat kedua tangan tanda dirinya tidak ingin ikut campur.
Namun, Natasha tetap menolak terpancing. Dengan berusaha bersikap santai, dia menjawab, "Nggak ada yang penting, kok. Cuma obrolan iseng aku sama Anya aja," elaknya.
Natasha mencoba tetap relaks walaupun berada di bawah tatapan penuh selidik yang dilayangkan Nata terhadapnya. Dia tetap berusaha menghabiskan makanannya walaupun sambal dadak yang tadinya nikmat, saat ini seakan sudah hilang rasanya.
"Gue udahan makannya ya, Ta? Tiba-tiba perut gue nggak enak, nih," ujar Anya sambil membereskan perlengkapan makannya.
"Terus gue gimana, Nya?" protes Natasha.
"Itu kan ada laki lo. Kelarin dulu masalahnya, tapi nggak usah berantem juga kali. Masa pengantin baru udah berantem," imbuh Anya sambil berdiri dan berlalu meninggalkan mereka.
Natasha tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah kepergian Anya. Akhirnya dia pun berhenti makan karena sudah tidak sanggup lagi memaksakan makanan masuk ke dalam mulutnya.
"Kamu udah selesai makannya?" tanya Nata yang dijawab anggukan kepala oleh Natasha. "Kalau udah selesai, kita pulang sekarang," ajaknya sambil berdiri dari kursi yang dia tempati.
Natasha mendongak. "Memangnya kamu nggak lanjut kerja?"
Nata hanya menggelengkan kepala sambil meraih tangan Natasha dan mengajaknya berdiri. Karena tidak ingin berdebat yang akhirnya malah mengundang perhatian orang-orang, Natasha hanya bisa pasrah saat Nata menggandengnya menuju tempat parkir mobil.
Sepanjang perjalanan Natasha terus memperhatikan Nata yang sedang serius dengan jalanan di depannya. Dia tahu suaminya itu sedang kesal, karena sejak keluar dari kafetaria, Nata tidak mengajaknya bicara sama sekali.
Waktu menunjukkan pukul tiga sore ketiga mobil Nata memasuki pekarangan rumah. Liora masih di sekolah, Hani masih di rumah sakit, dan di rumah hanya ada asisten rumah tangga yang membukakan pintu untuk mereka.
"Belum pulang, Mbak?" tanya Nata kepada asisten rumah tangganya itu.
"Ini baru mau pulang, Pak. Tadi habis kelarin gosokan yang kemarin. Bapak sama Ibu butuh apa? Biar saya siapin dulu."
"Saya nggak butuh apa-apa. Mbak langsung pulang aja."
Perempuan itu pun segera berpamitan dan pergi meninggalkan rumah itu menuju rumah kontrakannya yang lokasinya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Setelah hanya tersisa mereka berdua di dalam rumah, Nata menyusul istrinya yang sudah memasuki kamar lebih dulu. Dia menemukan Natasha sedang membersihkan wajahnya di meja rias.
"Kamu mau ngomong apa tadi?Kenapa Anya bilang kita nggak boleh berantem?" tuduh Nata.
Natasha menatapnya sesaat dari cermin meja rias dan menjawab, "Bukan hal yang penting, kok," elaknya.
"You better not be lying to me, Ta."
Natasha menghela napas. Dia membuang kapas yang sudah digunakan membersihkan wajahnya ke tempat sampah sebelum menoleh pada Nata.
"Aku cerita sama Anya soal kamu yang selalu pakai kondom setiap berhubungan sama aku," ungkapnya terus terang.
"Really?" sahut Nata dengan kernyitan di kening. "Apa menurut kamu itu hal penting sampai kamu harus cerita masalah itu sama orang lain? Kalau kamu memang keberatan, kenapa kamu nggak ngomong langsung sama aku?"
Balasan yang dilayangkan Nata membuat Natasha merasa dirinya idiot. Dia menarik napas dalam-dalam saat merasa dunianya mulai jungkir balik. "Karena aku bingung dan aku udah pernah tanyakan hal itu langsung ke kamu tapi kamu kasih jawaban yang nggak bisa menjelaskan apa-apa."
"Kenapa harus dibesar-besarkan sih, Ta? Padahal ini cuma masalah sepele, kan?"
"Sepele? Jadi, menurut kamu ini cuma masalah sepele?" pekik Natasha, maju menghampiri Nata hingga kini posisi mereka berdiri saling berhadapan. "Kamu tahu, karena perlakuan kamu itu, aku jadi merasakan kalau aku ini cuma simpanan kamu. Bahkan aku nggak tau niat kamu menikahi aku karena apa. Yang jelas aku yakin kamu menikahi aku bukan karena kamu mencintai aku."
Di saat Nata diam dan tidak berniat memberikan tanggapan, Natasha kembali bicara. "Come on, Nat, Wake up. Yang ada di hadapan kamu ini aku, Natasha. Bisa nggak sih kamu cukup fokus dengan keberadaan aku aja tanpa harus mengingat-ingat lagi soal mendiang istri kamu yang udah nggak ada?"
Mendengar Natasha membawa-bawa Kayla dalam masalah mereka, seperti menyiram minyak tanah di atas bara api. Nata menggeram marah. Wajahnya mengeras di bawah lampu redup kamar. Saat ini keduanya saling berdiri berhadapan dan saling membalas tatapan tajam dengan emosi yang membabi buta."Masalah ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan Kayla!" kilah Nata.
"Jelas ada! Karena di hati kamu cuma ada dia, sedangkan aku cuma jadi pelampiasan nafsu kamu aja. Iya, kan?"
"Makin lama omongan kamu makin ngaco!"
"Kamu yang ngaco! Kamu pikir pernikahan itu cuma mainan?"
Pada detik berikutnya, Natasha hampir menjerit ketika Nata mendorongnya hingga punggungnya bersandar ke dinding dengan kedua tangan Nata di antara kepalanya. "Aku nggak pernah menganggap pernikahan kita cuma main-main," ujarnya dengan sorot mata hampir menusuk mata Natasha. "Aku lagi berusaha, Ta. Apa kamu nggak tahu kalau saat ini aku lagi mencoba menyesuaikan diri dengan keadaan yang aku hadapi saat ini?"
Natasha terkekeh di tengah rasa getir. "Such a pathetic, hm? Harusnya kamu melakukan itu dari sebelum kita menikah, bukannya sekarang setelah aku udah kasih semuanya buat kamu. Sekarang lepasin aku!"
Natasha berusaha mendorong Nata agar bisa lewat, tapi Nata malah makin rapat menahannya ke dinding. Dahinya di sandarkan di sisi kepala Natasha hingga embusan napasnya menerpa kulit Natasha.
"Stop, Ta. Please, just stop," bisik Nata di samping telinga Natasha.
"I just don't get it, Nat. Aku bahkan nggak kenal siapa cowok yang nikahin aku."
"So what do you want?"
"I want to know how much you love me."
Nata tidak bisa menjelaskan apa yang tengah ia rasakan karena dirinya pun tidak tahu. Tapi, Nata yakin, apa pun jawaban yang dia berikan, pasti akan tetap menyakiti hati Natasha karena dia tidak bisa memberikan jawaban yang istrinya itu inginkan.
"I'm sorry, Ta. I can't. I just want you to feel it without me having to say. Just feel it, Sayang. Just feel it."
Kata-kata yang diucapkan Nata seperti mendesak dada Natasha dan semua udara mengembus dari dalam paru-parunya. Tidak ada satu perisai pun yang dapat menyembunyikan pancaran remuk redam dari wajahnya. Seakan dia pun tersiksa dan ingin segera mengakhiri rasa sakit yang menggerogotinya selama ini.
Natasha memejamkan mata saat air mata mendesak keluar. Dia berusaha mencegah hal itu karena tidak ingin terlihat lebih konyol dengan menangis di hadapan Nata.
Ketika dia membuka mulut untuk kembali bicara, bibirnya malah dipertemukan dengan panas mulut serta sapuan lidah yang tahu betul bagaimana caranya mencium. Natasha memejamkan mata rapat-rapat saat napas Nata membelai rahangnya. Laki-laki itu memang benar-benar pandai memanfaatkan situasi dan kelemahan Natasha.
****
Sorry this chapter has been deleted. Part lebih lengkapnya bisa kamu baca di Karya Karsa dengan judul 'Siapkah Aku Jatuh Cinta Part 12'.
Link bisa kamu klik di bio penulis. Thank you ^^
****
Tarik napas dulu. Relaks, take it easy, tapi jangan lupa vote dan komen. Besok aku lanjut lagi kalau jumlah vote-nya banyak xD
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapkah Aku Jatuh Cinta Lagi?
RomanceAnata Dewangga masih betah menduda setelah kematian istrinya saat melahirkan. Dia tetap keras kepala dengan keyakinan bahwa ia mampu membesarkan anaknya seorang diri. Namun, sebuah kejadian membuatnya merenungi ulang keputusan untuk tetap melajang...