Chapter 11

1.9K 215 13
                                    

‘Ketika seseorang telah mengambil langkah untuk menikah, maka saat itulah dia harus tahu bahwa ada hati yang harus dia jaga.’

~Kekasih Pilihan Allah~
***

Matanya mengerjap, mengumpulkan kesadaran dari tidurnya. Refleks tangannya meraba tempat sebelah, kosong. Rendi menolehkan kepalanya, Zahra sudah tidak ada di sana.

Kedua sudut bibirnya tiba-tiba tertarik untuk melengkungkan senyum, mengingat apa yang semalam telah mereka lakukan. Rendi beranjak, kemudian memutuskan untuk lebih dulu membersihkan diri kemudian melaksanakan jamaah subuh di masjid. Tanpa berniat mencari Zahra lebih dulu.

30 menit Rendi baru pulang dari masjid. Satu langkah kakinya menapak lantai rumah, indra penciumannya langsung mendapati bau sedap dari sebuah masakan.

Tak perlu menebak lagi siapa yang tengah berkecimpung dengan penggorengan dan kawan-kawannya, sudah pasti itu Zahra. Kini dia sedang menghadap kompor dengan tangan kiri memegang sisi pegangan penggoreng, dan tangannya yang lain memegang spatula.

Zahra terperanjat saat tiba-tiba seseorang sudah berdiri tepat di belakangnya.
“Mas ngapain di sini? Bikin kaget aja.” Kemudian kembali fokus pada nasi gorengnya.

Rendi tersenyum. Dia sengaja menggoda, “Makasih yang semalam.” Bisiknya lembut di dekat telinga Zahra yang terbuka. Kemudian di iringi dengan satu kecupan di pipi kirinya. Pagi ini, Zahra memang tidak mengenakan hijab. Rambutnya yang basah membuat lehernya gerah apabila langsung di tutupi hijab. Memilih untuk mengeringkannya lebih dulu.

Zahra tak merespons apapun, tapi Rendi tahu kalau wanita itu sedang menahan diri untuk tersenyum. Melihat sudut bibirnya yang berkedut, rasanya Rendi ingin tertawa saja. Tapi dia memilih untuk mengabaikannya.

“Mas, tadi Dina WhatsApp aku, katanya untuk SPAN ini dia ngajuin ke kampus tempat Mas suami kerja.” Ujarnya sembari memindahkan nasi yang telah selesai di goreng itu ke atas masing-masing dua piring.

“Dina? Loh, emang dia mau kuliah? Kenapa nggak ambil SNAMPTN aja?” Zahra hanya mengedikkan bahunya. Kemudian menjulurkan satu piring di depan kursinya dan satu lagi ke depan Rendi.

“Bukannya bisa ya, kalo ngajuin sekaligus dua? SNAMPTN sama SPAN?” keduanya sudah sama-sama duduk berhadapan.

“Bisa sih, tapi seingat saya dia pengen ke UI, Jakarta. Tapi sekarang kok tiba-tiba ambil di sini?”

“Mungkin aja sengaja pengen dekat Mas Rendi. Selaku keluarganya kan?” Rendi tersenyum, istrinya sama sekali belum tahu bagaimana hubungan keluarga mereka sebenarnya.

“Dina itu anaknya ceria ya, Mas. Seneng aku tuh kalo deket sama dia, hawanya itu tenteram terus.” Ungkap Zahra terus terang.

“sama kayak kamu.” Balas Rendi singkat.
Setelah menghabiskan makanan dalam mulut, Zahra kembali berucap. “iya, sama perempuannya.”

“kalau itu jelas, maksud saya sama-sama selalu bikin hati adem.” Beriringan dengan ucapan itu, Rendi memberikan seulas senyum.

“Adem? Di kira sini freezer? Kosakata bahasanya yang manis dikitlah ya, biar romantis.” Balasnya menyindir. Membuat Rendi terkekeh sendiri dengan sikap istrinya.

“nanti saya pulangnya agak sore lagi kayaknya,” Zahra yang semula fokus makan, kini mengalihkan pandangan ke amat suaminya.

“saya perlu buatkan surat izin pemindah tanganan dosen pembimbing untuk Naura. Dan itu nggak mudah, belum lagi saya juga nggak ada pikiran sama sekali mau pindahin anak itu ke siapa.”

Kekasih Pilihan Allah ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang