Putus

19 12 0
                                    

   Aku tidak memberi tahu Ifa soal alasanku ikut dengannya ke fakultasnya, aku tidak memberi tahunya jika beberapa hari ini Arvi mulai berubah, dia sama sekali tak perduli lagi padaku, aku yakin jika keputusanku tidak salah, wajarkan jika aku mencari tahu soal pacarku yang tak ada kabar, aku ingin kejelasan hubungan kami, jika memang dia sudah mulai bosan padaku, seharusnya dia memberi tahuku dan aku akan dengan ikhlas melepasnya meski berat tapi jika itu yang terbaik aku akan menerimanya. Sepanjang jalan untuk bertemu Arvi, aku merasa setiap langkah kakiku menjadi berat, aku takut jika pada akhirnya hubungan ini akan berakhir. Arvi cowok yang baik selama aku mengenalnya, selama pacaran dia tidak pernah merendahkan aku, pegangan tangan dan merangkulku adalah batasannya, dia tidak pernah melebihi itu.

Aku melihat Arvi tengah duduk bersama dengan teman-temannya dan hal yang membuatku marah saat kulihat Arvi sedang memainkan ponselnya, jika memang dia tidak pernah melepaskan ponselnya dari pandangannya, kenapa dia sama sekali tidak membalas pesanku.

Dia sama sekali tidak merasakan kehadiranku, aku berdiri tepat di hadapannya tapi perhatiannya masih tertuju pada layar ponselnya, apa saat ini aku sudah menjadi nomor dua dan pemenangnya adalah game?

Teman-teman Arvi yang menyadari kehadiranku pergi meninggalkan kami, sementara Arvi masih sibuk dengan gamenya.

"Frans? Lo kok nggak bantu gue? Gue bisa mati. Frans? Lo tuli? Ucapnya dan hendak memukul ke arahku, tetapi dia menghentikan usahanya itu sesaat melihat diriku, kutangkap raut wajahnya yang terkejut dan juga terlihat dingin. Jujur ini pertama kalinya tatapan itu ditujukan untukku.

"Kenapa? Kau ingin memukulku? Tanyaku begitu saja.

Dia bukannya menjawab tapi memperhatikanku sedemikian rupa.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Ucapnya dengan nada tak suka.

Aku berdecak kesal, lalu kutatap dia dengan tatapan tajamku,"Kau tidak suka kehadirkanku? Atau kau memang tidak menginginkannya?.

Lagi-lagi dia diam, dia mengalihkan pandangannya padaku dan lebih memilih ponselnya.

"Arvi? Apa game itu sekarang lebih penting dariku? Kutanyakan itu padanya karena kesal.

Dia berdalih dan menatapku lagi,"Jika kamu tahu, kenapa bertanya lagi? Akunya tanpa rasa bersalah.

Aku memejamkan mataku, aku merasa di dorong dan masuk ke jurang yang dalam,"Lalu maumu apa sekarang?.

"Tidak ada, tapi jika bisa aku ingin kau kembali ke asramamu saja" ucapnya dengan nada dingin tanpa ekspresi sedikitpun.

Aku bangkit dari dudukku, dia menengadah melihatku, kuberi dia tatapan jijikku padanya.

"Jika kau sudah bosan padaku katakan saja! Teriakku.

Dia tidak merespon tapi hanya menatapku saja.

"Kau memang sudah keterlaluan, apa salahku?".

"Tidak ada, kamu sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun".

"Lalu? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini? Mendiamkanku, tak menghiraukanku bahkan kau seperti tak menyukaiku lagi".

"Tak ada alasan" ucapnya yang membuatku tidak bisa menahan emosiku lagi.

Aku menamparnya, beberapa orang yang lewat berhenti melihat kami, Arvi hanya terdiam dan masih menatapku,"Aku menyesal bertemu dengan lelaki super cuek dan tak berperasaan sepertimu, beberapa hari ini aku khawatir padamu, banyak pertanyaan yang kemudian muncul di pikiranku, apa dia sakit? Atau dia selingkuh atau dia punya kesibukan sehingga dia tidak lagi membalas bahkan menelponku sekedar memberitahuku keadaanya sekarang? Aku ingin bertanya pada Ifa atau Sri tapi kuurungkan, aku tidak ingin mereka berasumsi jika aku dan kau punya masalah lagi, aku bertingkah seperti orang bodoh hanya untuk orang brengsek sepertimu! Aku mengeluarkan semua amarah yang selama ini ku pendam.

Tapi seorang Arvi yang terkenal akan cuek dan ta perduli menunjukkan sifat aslinya, dia terdiam dan hanya memandangiku, walau saat ini dia sedang mengenggam jemariku.

Aku menghela napas, sembari menyapu air mataku, aku kembali menatapnya,"Arvi aku capek menghadapi sikapmu yang seperti ini". Sebelum ku selesaikan ucapanku Arvi bangkit dan kami saling berhadapan, kulihat ponselnya di letakkan di kursi.

Dia hendak memelukku tapi aku menahannya,"Aku tidak sanggup lagi, aku ingin kita putus! Ucapku lalu kudorong Arvi dan dia terjatuh tepat di atas ponselnya lalu aku berlari keluar dari gedung fakultasnya dengan membawa luka di hatiku.

Orang yang selama beberapa bulan ini terus membuatku senang tiba-tiba berubah menjadi penjahat hati, aku terus berjalan meski beberapa kali aku tersandung karena bola mataku tak melihat jelas karena di tutupi air mata. Dia bahkan tidak mengejarku, hubungan selama sebelas bulan ini berakhir dengan tak berkelas, aku benar-benar merasa malu.

Ifa memelukku setelah membuka pintu, dia menatapku dengan cemas,"lo nggak apa-apa Ne? Gue dengar lo dan Arvi.

Aku mengusap wajahku frustasi,"Ifa kumohon jangan sebut namanya untuk saat ini, pria brengsek itu tidak pantas di sebut namanya lagi. Ucapku membuat Ifa terkejut. Imageku di depan Ifa seketika hancur. Ifa megenalku sebagai Aneta si gadis cantik, baik, lugu dan bertutur kata yang lemah lembut. Tapi brengsek? Ini pertama kalinya Ifa mendengarku mengumpat.

"Ini pasti berat bagimu Ne, aku marah padanya, aku janji tidak akan bicara pada dia lagi" kata Ifa lalu menarikku dalam pelukannya.

Pelukan Ifa membuatku merasa nyaman dan aku kembali meneteskan air mataku.

Setelah putus dari Arvi, aku menutup pintu hatiku, aku muak dengan laki-laki, apalagi beberapa hari ini aku selalu berpapasan dengan Arvi, dia bahkan mengandeng perempuan di sampingnya dia juga ketawa ketiwi tanpa kesedihan sepertiku. Aku tidak tahu itu adalah pacar barunya atau temannya, aku sudah tidak perduli tentang dia lagi. Aku menyesal sudah menangisinya beberapa hari ini, kurasa itu hal konyol dan paling bodoh dalam hidupku.

"Assalamualaikum Ne! Tunggu yah Ne bentar lagi gue nyampe depan kontrakan lo"

"Iya, jangan kelamaan yah Ria".

Beberapa menit kemudian Ria memarkir motornya di depan kontrakanku, dia membuka kaca helmnya dan melempar senyumnya,"Maaf yah Ne, gue telat".

Aku berjalan menghampirinya sembari memakai helmku,"Aku yakin nona Ria saat kukabari jika aku selesai mandi kuyakin kau baru bangun dari tidurmu" ucapku seperti biasa.

"Iya, sorry" akunya.

Ria memarkir motornya di parkiran fakultas kami, sementara aku sudah berjalan mendahuluinya.

"Ne tunggu dong".

"Buruan, lo lelet banget sih" omelku.

Dan tanpa sengaja hidung kecilku yang lancip menabrak dada seseorang yang kini memegang lenganku, aku memegang hidungku karena sakit.

"Aw, maaf" kuucapkan dengan setulus hati tetapi orang itu sama sekali tidak menjawabnya.

Aku lalu menengadah dan menutup mulutku saat kulihat siapa orang itu.

"Kamu punya mata, tapi tidak kamu gunakan dengan baik".

Ya cowok yang saat ini aku hadapi adalah Arief, lagipula apa yang dia lakukan di fakultasku ini?.

"Kalian selalu saja tabrakan jika berpapasan,jangan-jangan kalian jodoh" ucap Anton yang tukang gosip itu.

ANETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang