Pernyataan Cinta Arvi

21 11 0
                                    

Aku memegang pipiku yang mengeluarkan semburat merah. Aku malu rasanya.

"Aku baik-baik saja".

Ifa berjalan mendekatiku dan memperhatikan wajahku.

"Jangan bohong, gue tahu pasti ada hal yang membahagiakanmu".

"kenapa kau bisa berpikir seperti itu?".

"Kemarin-kemarin kau terlihat suram Ne, gue bahkan nggak tahu harus melakukan apa padamu, tapi hari ini kau terlihat senang, apa ini ada hubungannya dengan Arvi?".

Bahkan nama Arvi yang keluar dari mulut Ifa saja membuatku berdebar, apa aku memang sudah gila sekarang. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan beralih ke kasurku sembari menyembunyikan wajahku di balik bantal.

Karena penasaran, Ifa yang masih memakai tasnya duduk di samping dan menyolek pinggangku, sungguh itu membuatku sangat geli.

"Ada apa?" Tanyaku polos.

"Kau harus cerita padaku, bagaimana kalian bisa berdamai sekarang?".

Aku duduk sejajar dengan Ifa di tepi ranjang, aku menoleh padanya dan menceritakan semuanya, dia tersenyum sambil manggut-manggut saat aku mengeluarkan kata-kata yang aku ucapkan dengan Arvi.

"Gitu Ifa ceritanya".

"Aku tahu dia pasti akan merasa bersalah padamu, tapi lihat saja, jika dia membuat kau sedih lagi, aku akan memberinya pelajaran".

Aku memeluk Ifa erat.

"Terima kasih, kau memang teman yang baik".

Ifa lalu beranjak dari tempat tidurku dan kulihat dia masuk ke dalam kamar mandi. Aku kembali sendiri, aku terus menatap ponselku, kali saja Arvi menelponku lagi dan benar lagi-lagi ponselku berdering, aku segera mengangkatnya.

"Halo?" Jawabku.

"Tumben".

"Tumben kenapa Arvi?".

"Biasanya kau tidak pernah mengangkat telponku jika aku menghubungimu".

"Oh yah? Aku tidak merasa seperti itu".

"Sudahlah lupakan saja soal itu, Besok kau ada acara?".

"Tidak, ada apa?".

"Besok? Kau mau datang ke fakultasku?".

"Untuk apa? Bagaimana jika aku bertemu dengan Alif? Apa kamu tidak akan marah lagi?".

Beberapa saat Arvi terdiam, aku jadi tidak enak harus membahas masalah sensitif seperti ini.

"Vi? Kamu baik-baik saja? Kamu marah yah?".

Tak ada jawaban dan yang kini terdengar dari ponselku adalah bunyi ponsel terputus, tuut...tuut...

Kacau, aku membuat semua menjadi hancur lagi, kenapa aku selalu merusak suasana.

Aku membaringkan ponselku di samping bantal tidurku. Ku usap wajahku beberapa kali karena menyesali ucapanku. Seharusnya aku tidak membahas ini dengan Arvi saat kutahu dia membenci hal itu.

Beberapa kalipun aku berbalik ke kiri dan ke kanan aku masih saja tak bisa tertidur, kuraih ponselku dan aku membuat sebuah pesan dan kukirimkan pada Arvi.

"Arvi? Kamu marah padaku? Maaf, aku seharusnya tidak membahasnya, maafkan aku".

Aku mengirimkan pesan itu padanya dan kupejamkan mataku, walau dia marah padaku aku tetap harus menepati janjiku untuk datang ke fakultas, meski kutahu dia akan seolah tak kenal padaku.

"Mau tidur Ne?".

Suara Ifa kembali membuatku membuka mata.

"Iya, aku ngantuk tapi mataku tak bisa terpejam".

"Kan besok kau nggak ngampus ngapain tidur cepat, aku sih bakalan begadang nih malam ini, soalnya besok nggak ada kuliah".

"Oh" jawabku dan aku akhirnya tertidur.

*****

Aku terbangun tepat pukul 7 pagi, aku menyesal kembali tertidur setelah shalat shubuh, aku bergegas ke kamar mandi dan kulihat Ifa tengah berdandan.

"Ada kuliah Ifa?" Tanyaku sembari menarik handukku.

"Iya dong Ne".

"Barengan yah, aku ada perlu di fakultas kamu".

"Oke".

Kulihat Ifa tengah duduk menungguku, dia mengenakan celana jeans dan kaos berwana hitam.

"Yuk, berangkat," ajakku. Aku sendiri menggunakan rok jeans blue light dan kemeja warna pink.

Ifa mengangguk, lalu aku mengikutinya dari belakang.

"Kenapa? Ada masalah Ne?".

Aku menoleh dan melihat wajah Ifa, ku gelengkan kepalaku dan menatap ke depan.

"Kau jangan bohong, aku tahu kau ada problem, terlihat jelas di raut wajahmu Ne".

Aku menghela napas dalam dan menghembuskannya kasar.

"Semalam aku dan Arvi bertengkar lagi Fa".

"Apa? Kenapa lagi?".

"Itu salahku, seharusnya aku tidak menyebut nama Alif padanya, setelah mendengar namanya dia marah padaku dan tanpa sepatah katapun dia menutup telponnya".

"Arvi menelponmu? Wah kau hebat Ne".

Aku menggerutkan keningku sesaat dan menatap tajam pada Ifa.

"Apa maksud dari ucapanmu itu?".

"Aduh Ne, aku udah bilang ke kamu. Arvi itu cowok yang jadi incaran para cewek-cewek di kampus, dia terkenal akan cueknya, sikapnya yang dingin dan acuh tak acuh pada orang lain, apalagi soal telpon menelpon, sangat jarang, di telpon dosen saja kadang dia nggak angkat, itu sebabnya aku heran kok kamu bisa menaklukkan orang yang berhati dingin sepertinya".

"Kulkas dua pintu kali Fa, tapi aku rasa Arvi orangnya baik dan ramah kok, dia juga perhatian dan suka memuji".

"Aku tidak percaya dia seperti itu, sama aku aja Ne, dia jarang ngomong, tapi akhir-akhir ini dia kadang ngajak aku ngobrol dan isi obrolannya itu adalah Aneta".

Aku cuman nyengir mendengar cerita Ifa, jadi selama ini aku belum mengenal Arvi secara keseluruhan.

Saat tiba di depan fakultas Ifa, aku heran kenapa fakultas yang biasanya rame jadi sepi gini yah.

"Ifa? Benar hari ini kamu ada kuliah?" Tanyaku tak percaya.

"Iya Ne, kau kenapa sih? Ada problem lagi?".

Aku menggelengkan kepalaku dan hendak masuk ke dalam gedung fakultas Ifa, tapi dia menahanku.

"Kau tunggu di sini yah".

"Apa? Kenapa?".

"Ne, di fakultas aku jika hari sabtu ada peraturan, yang bukan anak fakultas di sini harus melapor dulu dan aku sebagai temanmu yang akan melapormu di bagian kasubag dan kau tunggu di depan pintu, aku nggak akan lama kok Ne". Aku sedikit kesal dengan peraturan nggak masuk akal ini, ku lihat Ifa berlari dan menghilang di sudut sana.

"Apa memang sebaiknya hari ini aku nggak datang?".

Ku putuskan duduk di tangga jalan menuju pintu, aku mencoba sabar menunggu Ifa, siapa tahu Arvi lewat jalan ini.

Dari halaman fakultas kulihat ada beberapa anak membawa setangkai bunga mawar di tangannya, apa mereka menjual bunga.

Yang anehnya, anak-anak itu berbaris rapi di depanku, seolah aku akan membagikan mereka sembako.

Anak gadis yang cantik dan imut mendekat padaku, dia mencium pipiku dan memberi setangkai bunga mawar itu.

Aku menunjuk diriku,"Ini buatku?" Tanyaku sedikit tak percaya atau anak ini ingin aku membeli bunganya?.

Setelah aku menerima bunga darinya dia pergi begitu saja.

Anak selanjutnya memberiku bunga, dia tidak menciumku tapi mengatakan padaku jika aku sangat cantik hari ini. Ada juga yang mengatakan jika aku jangan bersedih dan anak yang terakhir selain bunga mawar dia juga memberiku sepucuk kertas yang di sobek, aku membukanya dan ku baca pesannya.

"Aneta, berbaliklah".

ANETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang