Dasar Bocah

19 11 0
                                    

Film yang di putar sudah habis, aku bangkit dari dudukku dan saat aku ingin berjalan Arvi mengandeng tanganku.

"Hati-hati, kamu bisa jatuh jika jalanmu seperti itu" pungkasnya ramah.

Aku menggulum senyum dan berjalan pelan, di belakang Dika dan juga Kinan yang juga berjalan keluar.

Arvi mempercepat langkahnya dan menghadang jalan Dika dan juga Kinan.

Ya Tuhan kenapa juga Arvi melakukan ini.

"Kita pulang duluan yah" ucapnya pada mereka.

Kulihat raut wajah Dika kesal, dan hal yang tak kuinginkanpun terjadi. Dika melepas gandengan tangan Kinan dan meraih tanganku, jujur kukatakan saat itu, jantungku berdebar dengan kencang, akan sangat memalukan jika mereka bertengkar di depan umum seperti ini.

Arvi tidak melakukan apapun sejauh ini, syukurlah.

"Ne, aku....".

Arvi tiba-tiba menepis tangan Dika dan aku terbebas darinya.

"Kau, kalau ingin mengatakan sesuatu usahakan jangan bengong, kau menikmati memegang tangan pacarku? Dan salahmu paling fatal, apa kau tidak memikirkan perasaan pacarmu juga! Dasar bocah! Bentak Arvi layaknya ketua organisasi memarahi anggotanya.

Aku membulatkan bola mataku, aku sudah lama mengenal Dika, aku cukup lama pacaran dengannya, aku juga tahu dia sangat tidak suka di panggil bocah, dia akan merasa di rendahkan.

Dika menatap tajam pada Arvi, kulihat dia akan membuat masalah, aku dengan cekatan berdiri di depan Arvi.

"Jika kau melakukan apapun sekarang Dik, aku jamin nggak akan merubah apapun dan itu menunjukkan kau memang masih kekanak-kanakan".

Kinan mulai berakting, dia pura-pura menangis. Yah itu salah satu ciri khas Kinan.

"Dik udah, pulang yuk".

Dan untungnya Dika menurut. Sepertinya di sangat terpukul saat aku mengatakan jika dia sangat kekanak-kanakan.

Sebelum dia benar-benar pergi, dia menatapku dalam dan mengalihkan pandangannya pada Arvi.

"Kamu harus tahu, Aneta adalah mantan pacarku. Dan sampai sekarang aku masih mencintainya" bisiknya pada Arvi.

Lalu kulihat Arvi membisikkan sesuatu juga pada Dika.

"Masa lalu sudah menjadi masa lalu, sekarang itu masa depan dan kau yang hanya masa lalu akan kalah dengan masa depan yaitu aku".

Aku turun dari motor Arvi, saat aku berada di depan asrama kampus. Setelah menonton film tadi, aku masih penasaran apa yang Arvi dan Dika bicarakan dengan sangat serius itu.

"Kamu jangan pernah bertemu dengan Dika lagi, boleh?" Tanyanya saat aku berjalan ke lobi asrama.

Mendadak lututku kehilangan tulangnya.

"Ne? Kenapa? Nggak bisa yah?".

"Bisa kok, aku cuman masih teringat kejadian di bioskop saja, aku takut kamu dan Dika berkelahi, aku nggak ingin itu terjadi".

Arvi mengusap kepalaku lembut,"Sudah tak perlu dipikirkan, Dika bocah itu sepertinya cinta mati padamu Ne, tapi tenang aja aku nggak apa-apa kok, sudah kamu masuk ke dalam saja, istirahat yah".

Aku mengangguk dan kulihat Arvi sudah pergi, di dalam kamar aku duduk termenung di atas kursi dimana aku masih memegang tas yang tergantung di bahuku.

"Ne? Kenapa?" Tanya Ifa membuyarkan lamunanku.

"Ee Fa? Belum tidur?" Tanyaku basa basi.

"Baru jam setengah sembilan Ne, belum jam tidur aku sih, kenapa? Ada masalah lagi sama Arvi? Baru juga jadian beberapa hari Ne" katanya cemas.

ANETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang