PHP

18 11 0
                                    

Aneta bangkit, memeluk orang itu dan menumpahkan seluruh air matanya, meski tak mengeluarkan suara,"Nela untung lo ada".

"Lo nangis? Kenapa? Apa lo ada masalah?"

Aneta hanya menggelenggkan kepalanya lalu Nela menenangkan sahabatnya itu,"Ne, udah yah. Bokap nyokap gue udah nunggu di luar"

Aneta melepas pelukannya pada Nela, matanya lebam.

"Nel, maafin gue yah. Makasih udah bantu gue" kata Aneta dan mereka keluar dari gedung itu.

Hari rabu pun tiba, mama dan kakakku sibuk di dapur lalu aku tak di perbolehkan membantu, kata mama ini hari dimana aku menjadi putri yang hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun, tapi aku senang karena aku bisa menyibukkan diriku menjaga keponakanku yang manis.

Cuma butuh beberapa jam masakan mama dan kakak sudah siap, mereka menatanya di ruang tamu rumah kontrakanku, mama juga menyuruhku mandi dan berdandan cantik, memangnya aku ada acara lamaran? Ada-ada saja pikirku.

Ketika aku selesai berdandan, aku tidak sengaja mendengar mama bicara di telpon dengan seseorang, sejak kapan mama punya kenalan? Ditambah mama begitu antusias.

"Bu Sri jadi kesini? Nak Arief ikut?" Tanya mama.

Aku menjatuhkan gelas air minum teman kamarku karena tak sengaja menyenggolnya saat aku tahu jika mama tengah mengobrol dengan Ibu Sri yang adalah mama Arief, sebenarnya kenapa mereka bisa begitu akrab? Ini membuatku tak enak hati.

"Apa? Jadi Arief nggak bisa datang? Sayang sekali padahal saya mau bicara dengan banyak pada nak Arief" celetuk mama terdengar nada suaranya yang kecewa.

"Kenapa aku sedih saat aku tahu jika dia tidak akan datang, apa aku masih berharap? Tidak, itu malah bagus jika dia tidak datang" gumamku.

"Baiklah bu, cepatlah datang kami menunggu" kata mama sebelum menutup telponnya.

"Sayang sekali Arief nggak bisa datang, padahal mama mau bicara sama anaknya" ujar mama kecewa.

Aneta membuka pintu kamarnya dan duduk di samping mamanya.

"Bagus deh ma kalau dia nggak datang, kalau dia ada suasana akan jadi kacau dan nggak tenang" ucapku.

Mama memukul bahuku keras,"Kau ini bicara apa? Anak baik, cerdas dan rendah hati itu bagaimana bisa merusak suasana? Sudah kau duduk diam saja tanpa banyak bicara, mama jadi kesal melihatmu"

"Mama kenapa sih! Sejak kenal Arief mama jadi marah-marah terus sama aku" protesku.

Bukannya mama marah dia malah tertawa melihatku protes,"Sudah mama malas bahasnya, kau besok pulang ikut mama kan?"

"Nggak ma, Aneta masih harus urus ijazah dulu. Nanti kalau sudah selesai baru aku akan pulang ke kampung".

"Terserah kau saja sayang"

Beberapa menit kemudian, Ibu Sri dan juga keluarganya sudah datang, mama juga kakak sangat antusias menyambut mereka. Apalagi mama, saat melihat Ibu Sri dia lalu memeluknya dan Ibu Sri sepertinya juga melakukan hal yang berlebihan, keduanya memang mirip kelakuannya.

Makan bersama keluarga Arief tidak pernah terbayangkan olehku, hanya karena aku menolong Ibu Sri malah hubungan keluarga kami jadi dekat dan entah kenapa aku merasa sedih karena dia memang tidak datang, apa yang aku harapkan dari orang pemberi harapan palsu nomor satu di dunia ini.

"Aneta kalau sudah selesai makan bantu kakak jaga Aura yah, dia rewel muluh kakak nggak jadi-jadi makan".

"Aku sudah makan kak, sini biar aku bawa Aura jalan-jalan di kompleks" kataku sembari menggendong Aura keluar dari rumah.

"Nah Aura jangan nangis lagi yah. Aura tadi udah makan sama mama?".

"Iya, cudah mamam" ucapnya menggemaskan, Aneta lalu mencium pipi Aura sepuasnya.

"Ane, aku mau ue"

"Kamu mau kue? Oke ayo kita beli"

"Om anteng atang"

"Kamu ngomong apa Aura? Siapa yang datang".

"Om anteng".

"Siapa sayang?".

Aneta tidak melihat siapa orang yang di maksud Aura, karena saat mengendong Aura tubuh kecilnya itu menghalangi sebagian penglihatannya.

"Aura sayang sini biar om yang gendong kamu".

Aneta terkejut mendengar suara yang sangat di kenalnya itu, dia melihat jelas wajah Arief saat Arief sudah menggendong Aura.

"Kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?" Tanyaku bodoh.

"Lah? Kan kemarin mama kamu yang ajak keluarga kami"

"Tapi kata Ibu Sri kamu nggak jadi datang"

"Kata siapa? Aku cuman datang terlambat, mama salah ngomong kali"

"Ane ahat"

"Apa? Siapa yang jahat?" Tanya Aneta.

"Ane ahat, lalang om anteng atang"

"Aura nggak gitu, maksud Ane bukan gitu kok sayang"

"Hahaha" jelas terlihat Arief menertawakan Aneta, karena Aura kini memihak Arief.

"Aneh, kok keluarga aku pada suka kamu sih, bikin malas tau nggak".

"Nggak tahu tuh, lagian yah keluarga aku juga nggak berhenti-henti ngomongin kamu terus sampai bosan aku" kata Arief yang jelas terlihat kelepasan.

"Masa sih?" Tanya Aneta memperjelas.

"Hmm kamu salah dengar, kita ke warung aja deh bukannya tadi kamu mau beli jajan buat Aura".

"Iya, maaf yah Aura malah repotin, Aura sini sama tante Ane, soalnya kakak Arief mau makan dulu"

"Nda mau"

"Tunggu kok Aura manggil aku kakak sih, harusnya kan om" kata Arief protes.

"Udah nggak usah protes, sini biar Aura aku yang bawa kamu masuk aja ke dalam, kamu belum makan kan"

"Kenapa, kamu khawatir?"

"Yah nggak lah, ngapain juga aku khawatir, nggak penting"

"Aku nggak lapar, jadi sekarang kamu tunjukkan jalan ke warung saja, Aura bakalan nangis kalau kelamaan berdebat"

"Kok kamu nyolot sih"

"Siapa yang nyolot emang kenyataannya gitu, benar nggak Aura?".

"Iya"

Ya ampun gue nyerah deh, kenapa Aura bisa sesuka itu sih sama Arief. Gue kan jadi malu karena terus ditolak sama ponakan sendiri batin Aneta.

"Ee neng Aneta sama siapa neng, suami sama anaknya yah?"

"Bibi kok ngomong gitu, bibi kan kenal Aneta, tahu juga kalau Aneta ini masih lajang".

"Haha kan bibi cuman bercanda, tapi neng Aneta saja yang nanggapinnya serius, masnya maaf yah bibi cuman bercanda kok".

"Nggak apa-apa bi, bentar lagi juga kita bakal nikah kok"

"Walah selamat yah neng Aneta".

Aneta menyikut Arief kesal,"Kamu kenapa sih.  Bibi Itu nggak benar kok, dia cuman bercanda" ucapku gugup.

Tapi keduanya malah tertawa seolah mereka memang sedang mempermainkan aku.

"Nah ini kuenya, makasih yang udah beli" ucap bibi Asih dan kami meninggalkan warungnya, jujur aku sudah tak tahan berada lama di warungnya.

"Ne besok aku balik ke Jogja, pasti kita nggak akan ketemu lagi"

"Kenapa? Bukannya kamu senang kalau jauh dari aku, jadi kamu nggak ada teman berantem lagi kan"

"Ne aku serius, kamu benar-benar nggak ada..." dia tidak melanjutkan ucapannya membuatku berpikir panjang.

ANETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang