Arief 4

15 10 0
                                    

Aneta berpikir keras, dia mengerutkan keningnya,"Nel, gue rasa Lo salah deh, orang menyebalkan itu nggak mungkin deh suka gue, imposible" utaraku.

Nela menepuk pundak Aneta keras,"Lo kok nggak percaya sih, gue serius tadi gue jelas ngeliat mereka ngomong gitu" jelasnya lagi.

Lalu saat itu Aneta tak sengaja melihat Arief berdiri di belakang Afita, Afita adalah juga merupakan teman kelas Aneta, dia gadis tercantik di kelasnya, saat itu Aneta menyadari sesuatu.

Dia tersenyum pada Nela dan mengantung lengannya di pundak Nela,"Sekarang gue tau Nel, siapa cewek yang di suka Arief".

"Lo kan" tegas Nela.

Aku menggelengkan kepalaku,"Bukan gue tapi Afita".

Nela menepuk keningnya,"Lo susah yah di bilangin, bukan Afita Ne, tapi kamu".

Aku duduk di teras sembari mengikat sepatuku, Raka dan Nela keluar dan juga duduk di sampingku.

"Kita belanja apa Ne hari ini?".

"Ntar di pasar aja Ka, gue lihat kita beli apa aja untuk acara perpisahan di posko kita" ucapnya lagi.

Saat malam hari tiba, Aneta dan semua teman sudah menyiapkan acara perpisahan poskonya, rumah pak Desa di mana mereka tinggal selama sebulan di hias dengan meriah, tenda sudah di pasang dan di meja sudah terhidang berbagai macam makanan.

Tak lama kemudian teman-teman posko lain yang di undang hadir di acara perpisahan kami, karena memang sebelumnya, Aneta dan teman-teman sudah mengundang mereka. Ada yang bisa datang dan ada juga yang tidak.

Arief dan teman-temannya juga datang, kemarin kami bertengkar tapi sekarang aku dan Arief seolah tak saling kenal. Aku yang jagain meja makan di panggil oleh Rian dan juga Anton.

"Ne. Anton, Rian dan juga ehmm udah datang tuh Lo temuin mereka deh" goda Nela padaku.

Aku meminta tolong pada Dipta untuk menjaga meja makan.

Aku menyambut dua temanku itu dan tentu dengan lelaki itu juga. Aku duduk di kursi tamu lalu ku panggil Anton duduk tepat di kursi kosong di sampingku,"Ton sini kau duduk di sampingku".

Tapi Arief mendahuluinya dan duduk di sampingku. Aku bertanya pada Nela dengan mengirimkannya sinyal, aku hanya ingin memastikan jika Arief yang di maksud Nela adalah orang yang kini tengah duduk di sampingku.

"Nel?". Panggilku padanya, aku berbisik sembari menunjuk ke arah Arief dan kuusahakan dia tidak menyadarinya dan kulihat Nela mengangguk pasti dan mengacungkan jempolnya.

Aku menatap Arief dan memperhatikannya. Nggak mungkin, pasti Nela salah, cowok aneh dan gila ini nggak akan pernah suka ke gue batinku.

Dia menunduk dan mendekatkan wajahnya di telingaku, jelas aku merasa napasnya menghembus telingaku,"Kenapa kamu terus melihatku? Kamu terpesona sama wajah tampanku?" Ucapnya sembari tersenyum di depan wajahku lalu iya kembali berbincang dengan Anton dan juga Rian.

Sepertinya anak ini belum minum obat deh sebelum datang kemari, soalnya tingkat kepedaannya sudah melebihi batas batinku.

Lalu di atas panggung, ku dengar Raka memanggilku. Aku lalu pergi dari tempat tamu.

"Ada apa?" Tanyaku ketika sampai di panggung.

"Lo di sini, soalnya dokumentasi kita selama ber-KKN di sini bakalan di putar".

"Oh ok".

Malam berikutnya, giliran kami yang menerima undangan dari Arief dan juga teman-temannya, sebenarnya jika ingin memilih, aku lebih baik tinggal di rumah saja daripada harus bertemu pria aneh bin ajaib itu lagi, tapi jika aku melakukannya kuyakin mereka semua akan mengejekku.

Saat tiba di posko Arief, acaranya sudah setengah jalan. Kami memutuskan duduk dibarisan paling belakang, kami bertujuh duduk berjejeran. Karena bosan aku pergi meninggalkan acara itu dan berjalan ke kebun di sebelah posko mereka. Aku menghirup udara yang begitu segar, kupandang langit yang mulai menggelap,"Sepertinya akan turun hujan, hujan yang aku benci, aku sudah mengambil keputusan yang baik, jika aku di sana aku pasti akan membuat keributan".

Sebutir demi sebutir turun dari langit di sertai angin yang tidak begitu kencang, aku berlari dan berteduh di rumah kebun yang hanya beralaskan seng, namun tidak memiliki dinding,"Kumohon jangan sampai hujan turun dengan deras apalagi di sertai kilat, aku bisa mati berdiri"celotehku pada diri sendiri.

Sepertinya ini bukan hari yang baik bagiku, hujan turun dengan deras suaranya semakin bising karena seng sangat dengan diriku saat ini, kakiku mulai gemetar, keringat mengalir di pelipisku, kurasa kepalaku mulai berat, di saat itu pula petir juga muncul membuat penderitaanku semakin bertambah, aku segera menutup mata dan semua badanku bergetar bukan main, aku berteriak keras, meski kutahu tak akan ada yang mendengarnya.

"Akh! Kumohon hujan berhentilah!" Teriakku sekeras mungkin. Tapi hujan malah semakin deras disertai kilat yang tak memberi perhatian sedikitpun padaku. Kepalaku rasanya berat sekali kurasa aku akan segera pingsan. Tapi seseorang entah dari mana berdiri di belakangku sembari menutup kedua telingaku dengan kedua telapak tangannya yang kurasa besar hingga aku mulai mendengar hujan tidak menjadi menakutkan. Saat ini aku merasa aman, nyaman dan tentram aku tidak ingin membuka mataku, aku hanya ingin seseorang ini terus menjagaku seperti ini, tapi bagaimana jika orang yang saat ini membantuku adalah orang gila dan lebih buruknya bisa saja dia akan berniat jahat padaku. Tapi jika memang begitu, harusnya aku sudah di bawahnya pergi jika memang dia berniat jahat dan jika itu orang gila sudah pasti dari tadi dia akan melepas tangannya dan menari-nari sambil bernyanyi di depanku, lalu siapa dia? Batinku terus bertanya-tanya tapi aku malas melihat seseorang ini karena aku masih takut.

"Kamu kenapa? Apa kamu sakit?" Tanyanya lembut.

Ha? Suara ini? Demi apa Tuhan mengirim Arief untuk menolongku? Aku jadi malu, apa yang harus aku lakukan? Batinku.

Dengan berat hati aku mulai membuka mataku secara perlahan, tapi aku tidak melihatnya karena dia memang sedang ada di belakangku.

"A...a...apa yang kamu lakukan di sini? Kamu kan bintang hari ini, kenapa kamu meninggalkan acaramu sendiri? Tanyaku dengan terbatah.

"Bagaimana yah aku menjelaskannya padamu? Sebenarnya tadi Anton menyuruhku membeli kecap di sebelah kebun ini, tapi saat aku ingin kembali ke rumah aku melihat ada anak gadis sedang bermain di dalam rumah kebun sendiri pula, karena kasihan jika dia akan di jahili orang akupun membantunya".

"Apa? Jadi maksudmu aku anak kecil?" Keluhku.

"Tentu saja, karena hanya anak-anak yang bandel yang akan bermain di kebun di saat hujan turun" Jelasnya membuat emosiku naik.

"Kenapa kamu tidak pergi saja dan bukankah aku ini bukan mahrammu, saat ini kau menyentuhku dengan tangan telanjang" kataku biar tahu rasa dia.

Arief lalu melepas tangannya dari kedua telingaku,"Aku cuman membantumu, lagipula suara teriakanmu tadi sangat menyeramkan, jika orang mendengarnya mereka pikir seseorang akan membunuhmu atau kamu sedang melihat hantu" godanya padaku.

Tapi tiba-tiba petir menyambar pohon pisang yang tak jauh dari tempat kami berteduh, karena sangat terkejut aku memeluk Arief.

Arief terkejut tapi dia malah membalas memelukku dengan erat dan mengelus rambutku lembut.

ANETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang