Projek Tak Terduga

15 11 0
                                    

         "Ne? makanannya nggak bakalan habis jika kau aduk-aduk saja, nggak nafsu makan?" tanya Nela dan membuat semuanya melihat ke arahku.

"Gara-gara Arief yah Ne?" pertanyaan susulan dari Raka.

Aku tetap diam dan tak menjawab.

"Kalau Aneta diam itu artinya benar" simpul Kusuma.

Aku lalu menancapkan garpu di atas meja membuat bunyi yang keras di atas meja dan kelakuanku itu membuat semuanya terdiam dan saling menatap satu sama lain. dan aku melanjutkan mengaduk-aduk makananku.

Sepertinya Arief dan juga teman wanitanya itu menyelesaikan makan siangnya dan lagi-lagi sebelum pergi dia menemui kami dulu.

"Rief urusannya udah selesai?" tanya Kusuma saat Arief berjalan ke arahnya, dan itu berarti saat ini Arief Berada tepat di belakangku.

"Iya, kami sudah selesai makan, gue juga kesini sekalian pamit pulang" ucapnya pada kami semua dan kurasa dia menunggu sesuatu sebelum benar-benar pergi dan teman-temanku yang lain menyadarinya.

Dipta menyolekku dan aku menatapnya,"Ada apa?"bisikku.

"Arieff udah mau pulang Ne, dia mau pamit ke kamu, balik dong" kata Dipta.

Aku menatap tajam pada Dipta tapi dia malah mengangkat kedua bahunya, kuletakkan garpu dan sendokku di piring dan aku berbalik dan tersenyum pahit padanya tanpa melihat wajah teman wanitanya.

"Ne, aku pulang dulu yah" ucapnya santai.

Aku kembali tersenyum, tidak mengucapkan sepata kata pun, aku hanya menganggukkan kepalaku padanya lalu kembali menghadap ke depan dan dia benar-benar pergi kali ini, lalu semua temanku menertawakanku.

"Ciee, tuh lihat kan gerak gerik Arief ke Lo Ne, gue yakin dia masih ada perasaan kok ke Lo" Goda Raka padaku.

"Iya gue setuju, buktinya dia nggak pulang sebelum Lo balik menatapnya". tambah Dipta.

"Udah tenang aja Ne, gue bakal nanya ke Arief nanti di asrama tentang wanita yang bersamanya tadi" tawar Kusuma.

Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar,"Terserah kalian, tapi gue capek menduga-duga dan kumohon kalian tidak perlu menghiburku jika ujung-ujungnya hanya menyakitkan gue juga" kataku dan membuat semuanya terdiam.

Pada malam hari habis shalat magrib, aku duduk di teras rumah, aku menatap langit yang di penuhi bintang.

Aku menghela napas dan menatap langit,"Arief itu sulit di tebak dan juga di gapai, seperti bintang yang tak akan pernah bisa di sentuh oleh manusia, kenapa orang sepertiku bisa menyukainya".

Aku menunduk frustasi dan aku teringat akan bingkisan yang di berikannya padaku. aku bangkit dari dudukku dan masuk ke dalam kamar dan membawa keluar bingkisan dari Arief, aku tidak tahu apa isi bingkisan ini, tapi jantungku berdetak kencang hanya karena penasaran dengan isinya.

Isi bingkisan itu tidak terduga olehku, sebuah ikat rambut yang tidak akan aku tegah untuk menggunakannya karena sangat cantik, aku akan menggunakan ikat rambut itu menjadi hiasan tasku saja dan sebuah buku tebal tapi masih terbalut kain, sepertinya kain itu adalah hijab, jadi dia memaksaku menggunakan hijab? tanyaku pada diri sendiri. jujur aku masih takut melihat buku di balik hijab itu dan kuurungkan untuk membukanya, aku membawanya kembali masuk ke dalam kamar, ikat rambut itu ku kaitkan di gantungan tasku lalu buku yang di balud hijab itu ku masukkan ke dalam lemari, aku akan membukanya jika sudah siap kataku lagi. dan aku kembali duduk di teras rumah.

Kulihat Lastri baru pulang entah dari mana bersama pacar barunya, dia tersenyum lebar saat menemuiku dan duduk di sampingku.

"Dari mana? bahagia banget kayaknya" godaku padanya.

Lastri tersipu malu dan memelukku,"Ne, dia cowok yang baik dan perhatian, aku di buat cinta olehnya".

Aku tertawa dan mengelitik Lastri,"Lo ngomong apaan sih sister? gue turut seneng deh sama Lo".

"Terima kasih, Lo memang teman yang baik, oh yah Ne gimana hubungan Lo dengan Arief".

"Udah deh gue bodo amat ama dia, Lo tahu nggak tadi siang dia ngasih gue dua kado, kado buruk dan baik, Lo mau kabar kado yang mana? tanyaku antusias.

"Yang buruk aja dulu".

"Dia makan berdua sama pacarnya".

"Apa? tapi Lo nggak apa-apakan Ne?"

"Iya, terus mau Lo gue kenapa-kenapa gitu?"

"Yah enggak lah, terus dia nggak mengatakan apa-apa padamu semacam menjelaskan jika dia itu hanya teman atau apalah gitu?".

"Emangnya gue butuh itu? gue kan bukan siapa-siapa Arief, lalu apa yang meski dia jelaskan ke gue yang bukan siapa-siapa baginya".

"Kenyataannya pahit yah Ne, udah deh mending Lo move on deh dari Arief yang nggak jelas itu" saran Lastri dan dia pergi setelah memberi saran yang berat bagiku.

Orang-orang memang gampang menyuruh kita melupakan seseorang, tapi itu sulit bagi aku yang mengalaminya sendiri, aku orang yang memang mudah mencintai tapi aku juga orang yang sangat sulit membenci jika sudah terlanjur cinta pada seseorang, rasanya sakit melihat Arief berjalan berduaan dengan wanita lain, aku ingin marah dan protes padanya, tapi aku sadar aku bukan siapa-siapa dan itu adalah kenyataan, yang kata Lastri adalah kenyataan pahit bagiku.

Jakarta, 2017

Aku duduk di ruang tunggu fakultas dan kudengar sebuah pengumuman dan isinya membuatku syok. Assalamualaikum dan selamat siang semuanya, aku akan mengabarkan kabar yang baik bagi kalian dalam rangka wisuda angkatan ke 63 ini, ada kegiatan tambahan yang di usulkan oleh para dekan setiap fakultas, kalian mungkin sudah membaca pengumuman di mading yang membutuhkan dua mahasiswa yang baru saja menyelesaikan sarjananya, sebenarnya itu bukan untuk acara penerimaan siswa baru tapi untuk acara wisuda kalian, nah dua mahasiswa ini terpilih oleh semua temannya dari berbagai jurusan di kampus kita dan yang terpilih salah satunya dari fakultas kita yaitu saudari Aneta Putri Ayu Dermawan. di mohon kesediaan Aneta untuk ke ruang dekan habis shalat dzuhur untuk berkenalan dengan partner kerjamu, sekian pengumuman siang ini, waalaikum salam dan selamat melanjutkan kegiatan kalian.

Aku tersedak air mineral yang ku minum saat ini, betapa terkejutnya aku mendengar namaku di sebut, siapa yang tegah mengusulkanku, aku tidak siap untuk semua ini,sungguh, jika bisa aku akan menghilang saja dari dunia menyebalkan ini!!!

Aku duduk termenung penuh emosi di pojok ruang tunggu, lalu saat Anton dan teman lain melihatku aku menatap mereka tajam dan segera bertanya pada mereka.

"Anton? ini pasti ulah Lo kan? kenapa gue jadi kandidat pengurusan kegiatan wisuda sih? aku itu banyak pikiran yang bikin mumet di tambah pekerjaan ini, bisa-bisa aku jadi semakin gila" keluhku pada Anton.

"Gue emang salah satu orang yang milih Lo Ne, tapi yang mengusulkan bukan aku dan aku tidak tahu siapa, apa kalian tahu?" Tanya Anton pada teman-teman.

Dan mereka menggelenggkan kepalanya secara bersamaan.

Aku lalu mengacak rambutku dan berusaha menahan emosiku.

"Ne, Lo kayak habis kerasukan setan saja". kata Saleh.

"Diam! saat ini aku tidak sedang ingin bercanda, aku pusing" tegasku.

Panggilan terhadap mahasiswa Aneta agar segera ke ruang dekan, terima kasih.

"Akh sial! gimana kalau kalian saja yang menggantikanku pergi?"

"Gue sih ogah Ne, udah Lo pergi aja lagian nama Lo udah di panggil tuh" Celetuk Rian.

Dengan berat hati aku bangkit dari dudukku dan menarik tasku kasar meninggalkan mereka yang menertawakan penderitaanku menuju ruang dekan.

Saat aku melihat tulisan di depan pintu "Ruang Dekan I" aku menyiapkan diriku, aku lalu mengetuk pintu dan saat aku membuka pintu lalu melihat patner kerjaku, aku tidak bisa berkata-kata, karena orang itu adalah Arief dengan sebuah projek tak terduga menungguku.





ANETATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang