Ini ceritanya sebenarnya udah pernah aku publish, judulnya ‘My Light’ ada yang ingat? Tapi sekarang udah ku unpublish.
Happy Reading
─────
Jisoo menyuapi Taeyong dengan perlahan-lahan, ia benar-benar tidak ingin melukai Taeyong. Sesekali Jisoo memandang Taeyong dengan tatapan sendunya, ia sungguh tak tega melihat keadaan Taeyong–suaminya–yang semakin lama semakin memburuk.“Kenapa kamu memandangiku seperti itu, Jis?” tanya Taeyong yang sudah menyadari hal yang sedari tadi Jisoo lakukan.
“Enggak apa-apa, Yong,” jawab Jisoo sedikit gagap.
Taeyong menyentuh tangan Jisoo dengan lembut; menggenggam tangan itu walau genggamannya yang sekarang tak sekuat yang dulu; Taeyong menatap mata Jisoo dengan tatapan sayunya.
“Aku bakal sembuh, Jis, aku janji akan berusaha untuk sembuh,” tutur Taeyong.
Jisoo menundukkan kepalanya, ia menangis untuk yang ke sekian kalinya. “Aku enggak mau kehilangan kamu, Yong,” ucap Jisoo dengan nada bergetar akibat tangisannya yang tak kunjung berhenti.
“Jis, kamu enggak bakal kehilangan aku, aku bakal terus ada di hati kamu, Jis. Kalau nanti aku sudah enggak ada di dunia ini, aku minta satu permintaan sama kamu, aku enggak mau kamu terlalu berlebihan menangis, aku enggak mau air mata kamu habis hanya untuk menangisi aku,” ucap Taeyong.
Jisoo hanya bisa menangis ketika mendengar setiap kata-kata yang Taeyong ucapkan dari mulutnya. Tangis Jisoo semakin terisak-isak ketika tangan Taeyong mulai menghapus jejak air mata yang berada di pipinya.
“Jangan tangisi aku, Jis, saat ini Tuhan masih memberi kita waktu untuk bersama, aku enggak tahu kita bisa begini lagi atau enggak di masa yang akan datang. Ayo buat suatu kenangan indah yang akan selalu kita ingat selama kita masih hidup di dunia ini,” ajak Taeyong.
Jisoo menggelengkan kepalanya berkali-kali dan berkata, “Tapi, aku enggak rela kalau kamu tinggali aku, Yong.” Ucapan Jisoo seketika membuat Taeyong terdiam.
Taeyong menangkup pipi Jisoo dengan kedua tangannya. “Jis, enggak ada yang abadi di dunia ini kecuali Tuhan. Kamu harus belajar relai aku, Jis. Kamu enggak mau ‘kan kalau aku sedih?” Taeyong mencium kening Jisoo sedikit lama.
“Ayo kita habiskan hari ini dengan membuat kenangan yang bahagia untuk aku Jis, kamu mau ‘kan?”
Jisoo menganggukkan kepalanya mendengar permintaan Taeyong. Jisoo mengambil obat milik Taeyong dan memerintahkan Taeyong untuk meminum obat itu terlebih dahulu.
Taeyong menuruti permintaan Jisoo dan meminum beberapa pil obat miliknya.“Kamu mau jalan-jalan?” tanya Jisoo pada sang suami.
“Boleh, aku mau ke taman,” jawab Taeyong.
Jisoo mengangguk lalu membantu Taeyong untuk pindah ke atas kursi roda dan tak lupa infus milik Taeyong juga ikut serta.
Jisoo membawa Taeyong pergi ke taman yang ada di rumah sakit tempat Taeyong di rawat saat ini. Jisoo duduk di sebuah bangku taman dan Taeyong tetap duduk di kursi rodanya. Mereka berdua menghabiskan waktu mereka berdua dengan menikmati sejuknya embusan angin dan melihat beberapa anak kecil yang sedang bermain bola.
Taeyong tertawa ketika melihat anak-anak itu saling tuduh menuduh karena bola yang mereka mainkan harus masuk ke dalam kolam ikan. Jisoo yang melihat hal itu lantas saja tersenyum walau rasanya masih tidak rela melepaskan sang suami.
“Jis, aku ingin sesuatu,” ucap Taeyong.
“Ingin apa, Yong?” tanya Jisoo.
“Aku ingin bertemu dengan Teo,” pinta Taeyong.
“Ya sudah, aku telepon kak Irene buat bawa Teo ketemu sama kamu,” ucap Jisoo.
Jisoo mengambil ponselnya yang berada di saku celananya dan mulai mencari kontak Irene–kakak dari Jisoo.
Selesai menelepon Irene, Jisoo berkata, “Hari ini Teo ada kegiatan kata kak Irene, jadi besok dia baru bisa menemui kamu Yong, enggak papa ‘kan?”
Taeyong menganggukkan kepalanya. “Enggak papa kok. Nanti malam mama sama papa aku jadi menginap disini ‘kan?”
Jisoo mengangguk, lalu berkata, “Iya, tadi mama sudah telepon aku.”
Setelah beberapa saat mereka berada di taman akhirnya Jisoo membawa Taeyong masuk karena hari sudah mulai gelap dan itu tidak baik untuk kesehatan Taeyong.
─────
Jisoo terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara ribut dari lantai bawah rumahnya. Jisoo memang tadi malam pulang ke rumah dan tidur disana juga.
Jisoo turun ke lantai bawah rumahnya. Jisoo mengernyitkan dahinya ketika melihat semua orang tengah menangis dan mengenakan pakaian hitam; Jisoo menghampiri ibunya dan ibu mertuanya; ia memandang mereka seperti meminta penjelasan.
“Apa yang terjadi, Bu?” Jisoo menatap kedua wanita paruh baya di hadapannya dengan penuh tanya.
Tanpa aba-aba ibu Taeyong langsung memeluk Jisoo yang masih keheranan. Jisoo menatap mata ibunya mencoba meminta penjelasan tapi, ibunya sama sekali tidak memberikan jawaban.
“A-apa yang terjadi, Bu? Kenapa semua orang menangis?” tanya Jisoo.
“T-Taeyong sudah pergi, Jis,” jawab ibu Jisoo.
Jisoo terdiam di tempatnya saat ini. Tak lama setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Jisoo dengan cepat melepas pelukan ibu mertuanya; ia berlari ke arah sebuah peti yang baru ia sadari saat itu; ia menerobos ramainya orang yang berada di rumahnya.
Tangis Jisoo semakin menjadi ketika melihat tubuh suaminya yang sudah pucat, lemah dan tak berdaya lagi. Jisoo jatuh terduduk di depan peti suaminya dan menangis begitu kencangnya bahkan sampai terdengar ke luar rumah mewah itu.
─────
Ibu Jisoo duduk di tepian kasur milik putrinya; ia mengusap tangan putrinya; menggenggamnya erat seperti seakan-akan menyalurkan semua kekuatan yang ia punya kepada putrinya.
Para kerabat sudah pulang ke rumah mereka masing-masing setelah usai memakamkan jenazah Taeyong ke tempat peristirahatan terakhirnya dan mungkin Jisoo akan sedih ketika mendengar bahwa jenazah Taeyong dimakamkan tanpa kehadiran dirinya disana. Jisoo tiba-tiba saja pingsan ketika sedang menangis di depan peti milik suaminya dan bahkan sampai sekarang ia belum bangun.
Tapi, Jisoo mungkin akan bahagia sedikit ketika mendengar kabar yang akan ibunya sampaikan nanti.
Ibu Jisoo melihat ke arah putrinya yang perlahan-lahan kembali sadar. Ketika Jisoo ingin bangun dari tidurnya tiba-tiba ibunya melarangnya.
“Jangan bangun dulu, sudah istirahat saja,” perintah ibu Jisoo.
“Jisoo mau ketemu Taeyong, Bu,” ucap Jisoo.
“Jisoo, Taeyong sudah enggak ada, Sayang,” jelas sang ibu.
Jisoo menggelengkan kepalanya, lalu berkata, “Ibu pasti bohong, ‘kan?”
“Enggak, dan sekarang kamu harus mulai kehidupan baru kamu dengan anak kamu,” tutur ibu Jisoo.
“Maksud ibu?”
“Kamu saat ini sedang mengandung, Jisoo.” Ibu Jisoo tersenyum kepada putrinya.
Jisoo menangis terharu mendengar kabar bahwa ia sedang mengandung saat ini.
—end—