Jihoon mengendap-endap memasuki sebuah rumah besar. Ia berhasil masuk ke rumah ini lewat dinding belakang, yang tentunya ia harus memanjat.
Jihoon bersembunyi di balik dinding besar itu. Ia melihat beberapa pelayan di dapur. Mereka sedang menyiapkan sarapan dan susu.
Susu
Jihoon menyeringai melihat segelas susu yang terletak di atas meja. Ia memikirkan cara untuk memasukkan bubuk putih yang ia siapkan ke dalam susu itu.
Ia menoleh mendengar suara teriakan dari lantai atas. Semua para pelayan bergegas menuju lantai atas.
Jihoon buru-buru berlari menuju susu itu dan memasukkan bubuk putih itu ke dalam gelas susu. Kemudian ia segera berlari ke halaman belakang untuk kembali memanjat.
———
“Dari mana saja kamu, Kim Jihoon! Kenapa terlambat!”
“Saya kesiangan, Pak, maaf,” ucap Jihoon.
“Karena ini pertama kalinya kamu terlambat, saya maafkan. Sekarang masuklah, pelajaran segera dimulai.”
Jihoon mengangguk dan masuk ke dalam ruangan kelasnya.
“Dari mana aja, Hoon?” tanya Teo.
“Kan udah dibilang tadi,” jawab Jihoon ketus.
“Ya maaf, kirain ada yang di sembunyiin,” tutur Teo.
Semua murid menutup mulutnya rapat-rapat ketika pelajaran sudah dimulai.
———
Sehun memasuki rumahnya dengan langkah tergesa-gesa. Ia langsung bergegas pulang ke rumah setelah mendapatkan kabar bahwa istrinya, yaitu Irene, saat ini sedang kesakitan di kamarnya.
Sehun meruntuki tindakan yang para pelayannya lakukan. Mereka tidak melakukan hal apapun untuk membawa Irene pargi ke rumah sakit.
Ia mematung ketika melihat Irene yang sedang kesakitan sembari memegang perutnya. Darah keluar membasahi tempat tidur.
Sehun segera menggendong Irene. Ia berlari memasuki mobilnya, mengendarainya dengan kecepatan penuh.
———
“Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dok?” tanya Sehun.
“Maaf, Pak, tapi anak Bapak tidak dapat diselamatkan,” ucap dokter itu.
“Kalau begitu saya permisi. Silahkan Bapak tebus obat di recepsionis,” ucap dokter itu, lalu meninggalkan Sehun.
Sehun terduduk di bangku yang berada di belakangnya. Ia mengusap kasar wajahnya. Tak lama sebulir air mata turun dari pelupuk matanya.
Siapa yang tega melakukan ini? pikirnya.
Jisoo
Satu nama itu yang terpikir dibenaknya. Sedetik kemudian ia menggelangkan kepalanya.
Tidak mungkin Jisoo, batinya.
Sehun segera menelepon penjaga di rumahnya untuk mengecek cctv yang terpasang di setiap sudut rumah.
———
“Jihoon-ah, ayo makan,” suruh Jisoo.
“Iya, Ma!” pekik Jihoon dari lantai atas.
Jihoon turun ke lantai bawah dengan berlari. Ia sangat lapar.
Jihoon duduk di sebelah Jisoo yanh sibuk menata piring-piring itu di atas meja.