Syallief belum berani masuk ke dalam rumahnya, ia masih berdiri sambil terus menatap pintu rumah tersebut. Ia sangat yakin, Ayahnya pasti sangat marah dan kecewa. Tapi mau bagaimana pun, ia harus masuk dan menemui Ayahnya untuk meminta maaf. Ia harus menerima resikonya.
"Kenapa juga gue sampai lupa? Mana tadi handphone gak kebawa lagi," gerutu Syallief sambil meremas rambutnya. Merasa benar-benar frustasi dengan situasi ini. Seandainya dirinya punya kekuatan mengembalikan waktu yang sudah berlalu, pasti ia tidak akan se frustasi ini. Tapi itu tidak akan mungkin, ia ditakdirkan sebagai manusia biasa yang hanya dibekali otak dan akal pikiran, serta kemampuan secara manusiawi.
Syallief perlahan membuka pintu rumahnya, ia pasrah dengan apa yang akan terjadi kepada dirinya nanti.
"Ini gue yang salah, kalo pun Ayah marah itu wajar. Tenang Syal, tenang," batin Syallief.
Syallief melihat Ayahnya yang sedang duduk di sofa, ia juga melihat Bundanya yang berdiri di belakang Ayahnya sambil mengusap-usap punggung Ayahnya. Ia yakin, Bundanya pasti sedang mencoba menenangkan Ayahnya.
"Bun, udah! Anak itu bener-bener udah bikin Ayah kecewa," ucap Daiflan dengan nada tinggi.
"Bunda tau, Syal udah bikin Ayah kecewa. Tapi Ayah harus tenang, inget ada Syaila sama Kaila di rumah. Kamu mau bikin mereka takut?" Amara terus mencoba menenangkan suaminya. Jangan sampai suaminya ini lepas kendali, lalu membuat kedua putrinya ketakutan.
"Ayah. Bunda," lirih Syallief. Daiflan dan juga Amara menghadap ke arah Syallief, seketika Amara sangat khawatir terhadap putranya. Semoga suaminya tidak terlalu kelewatan.
Tanpa basa-basi Daiflan langsung menghampiri putranya itu, matanya menatap tajam putranya. Kali ini Amara hanya bisa diam dan menyaksikan saja, ia tidak akan bisa membantu putranya karena memang di sini putranya lah yang salah.
"Dari mana aja kamu?" tanya Daiflan.
Syallief hanya diam, ia tidak berani menjawab pertanyaan Ayahnya. Gak mungkin kan ia menjawab kalo dirinya habis dari rumah seseorang cewek?
"Ayah dari tadi nungguin kamu loh, kamu ngehargain Ayah gak sih?"
"Kamu tadi pamit ke rumah Zidan? Tapi kenyataannya kamu gak ke rumah Zidan, Ayah tadi telepon Zidan. Dia bilang kamu gak ke rumahnya, terus kamu kemana? Ketemu sama Om Raf?" Daiflan terus saja bertanya dan mengintegrasikan putranya. Ia mencoba supaya tidak lepas kontrol dan membuat istrinya takut. Apalagi kedua putrinya sedang berada di dalam kamar, kalo sampai ia lepas kontrol ia akan mengganggu ketenangan kedua putrinya juga.
"Maafin Syal, Yah." Tidak ada jawaban lain yang Syallief katakan, selain kata maaf.
"Ayah tanya kamu dari mana? Kenapa dari tadi gak jawab pertanyaan Ayah? Kamu habis ketemu Om Raf, iya? Jawab jujur aja, jangan buat Ayah semakin marah sama kamu."
"Syal gak ketemuan sama Om Raf, tadi Syal nolongin temen. Syal lupa kalo ada janji sama Ayah," jelas Syallief sambil menundukkan kepalanya.
"Terus kamu sengaja ninggalin handphone kamu, supaya Ayah gak bisa nyuruh kamu pulang? Lihat, sekarang udah jam berapa?" ucap Daiflan sambil memegang kepala Syallief supaya menghadap ke arah jam dinding.
"Ayah bebasin kamu main Syal, sampai jam berapa pun. Tapi kalo kamu ada janji sama Ayah, kamu jangan ingkar! Kamu udah bikin Ayah kecewa Syal, Ayah dengan bangga kenalin kamu ke rekan bisnis Ayah, dia pengin banget lihat kamu. Tapi kamu malah buat Ayah kecewa, bahkan rekan bisnis Ayah juga kelihatan kecewa banget sama Ayah, pas tau kamu gak dateng."
"Maafin Syal, Syal gak bermaksud bikin Ayah kecewa."
"Ayah sita semua fasilitas kamu. Kartu ATM, handphone, kunci motor. Pokoknya semuanya! Jangan sampai kamu sisa-in uangnya, walaupun cuman seribu." Syallief hanya pasrah, ia tidak berniat membantah Ayahnya.
"Syal, izin ambil dulu di kamar." Setelah mendapatkan izin dari Ayahnya, Syallief berjalan menuju kamarnya untuk mengambil semua fasilitas yang ia punya. Ia juga tidak menyisakan uangnya sama sekali. Ini saja ia sudah sangat bersyukur, Ayahnya hanya menyita semua fasilitasnya. Tidak bermain fisik kepada tubuhnya.
Syallief sudah menyerahkan semua fasilitas tersebut kepada Daiflan.
"Ayah juga ngelarang kamu tidur di kamar kamu, selama seminggu kamu tidur di sofa ruang tamu." Lagi-lagi Syallief hanya pasrah, ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Yah, apa gak terlalu berlebihan? Masa kamu tega nyuruh Syal tidur di ruang tamu?" protes Amara.
"Ayah gak berlebihan Bun, mungkin dengan hukuman kayak gini, anak ini bisa menghargai jerih payah Ayahnya," ucap Daiflan sambil menatap tajam putranya.
"Iya Bun, Ayah bener. Syal emang salah, hukuman kayak gini emang pantas buat Syal," sahut Syallief.
"Bagus! Kalo kamu emang nyadar diri. Ayo Bun, kita ke kamar," ajak Daiflan.
"Ayah duluan, nanti Bunda nyusul. Bunda mau bicara bentar sama Syal," tolak Amara. Daiflan menganggukkan kepalanya, ia kemudian pergi menuju kamarnya.
"Syal, maafin Bunda ya Bunda gak bisa bantu apa-apa. Tapi kalo kamu butuh uang, jangan sungkan bilang ke Bunda ya," suruh Amara sambil mengelus puncak kepala putranya.
"Makasih Bunda, Syal sayang sama Bunda." Syallief lalu memeluk erat tubuh Amara.
"Sama-sama sayang, ya udah Bunda ke kamar dulu ya. Takutnya Ayah nanti marah lagi." Syallief tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Setelah itu Amara pergi menuju kamarnya.
Syallief duduk di sofa, ia mengusap wajahnya gusar. Jangan sampai ia membuat kecewa lagi Ayahnya, ia juga memaklumi sifat Ayahnya yang tegas. Karna ia seseorang anak laki-laki, tidak mungkin Ayahnya memanjakan dirinya seperti Syaila dan Kaila.
"Nikmatin aja Syal," gumamnya. Ia berniat mengambil bantal dan selimut di kamarnya, sesampainya di depan pintu kamar, ternyata kamarnya sudah terlebih dahulu di kunci oleh Ayahnya. Ia menghela nafasnya, memutuskan untuk kembali ke ruang tamu. Tetapi langkahnya terhenti ketika Kakaknya memanggil dirinya.
"Nih bantal Kakak, kamu pakai aja," ucap Syaila sambil memberikan bantalnya kepada Syallief.
Syallief tersenyum, lalu menerima bantal dari Kakaknya tersebut.
"Makasih ya, Ka."
"Iya, sama-sama. Lain kali jangan buat Ayah marah lagi sama kamu," ucap Syaila memperingatkan.
"Iya Ka, sekali lagi makasih ya. Syal sayang sama Kakak," ucap Syallief sambil tangan satunya memeluk tubuh Kakaknya.
"Kakak juga sayang sama kamu," ucap Syaila sambil membalas pelukan dari Syallief.
"Ya udah Kakak masuk kamar dulu ya, takut Ayah lihat," pamit Syaila.
Syallief mengangguk, setelah Kakaknya masuk ke dalam kamarnya lagi, ia kembali melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Kemudian membaringkan tubuhnya di sofa tersebut. Perlahan ia memejamkan matanya, semakin lama ia pun terlelap menuju alam mimpi.
Apapun yang kita perbuat, kita harus siap menanggung resikonya. Suka ataupun tidak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Menggapai Dunia Ku [Completed]
Novela JuvenilSyallief Daiflan, seorang remaja yang mempunyai cita-cita menjadi seorang Pilot. Namun sepertinya menjadi seorang Pilot hanya sekedar angan-angan dan impiannya saja. Ayahnya, terus memaksa untuk menjadi Pengusaha. Sejak lulus SMP, Ayahnya bahkan mem...