Sepulang sekolah Syallief langsung pergi menuju rumah Zidan, ia juga sangat penasaran tentang Zidan yang mengetahui tentang Kakaknya. Untungnya, setelah meminum obat antri nyeri, lukanya sudah tidak terlalu sakit.
"Tuh luka beneran udah gak sakit? Apa gak sebaiknya lo istirahat aja," ucap Zidan terlihat khawatir.
"Ya, masih sakit sih. Cuman udah mendingan setelah minum obat tadi. Lagian gue juga bisa istirahat di rumah lo kan?" ucap Syallief sambil terkekeh.
"Iya, lo bener juga. Lebih baik lo istirahat di rumah gue aja, biar damai. Gak ada gangguan."
Syallief cukup terkejut mendengar cerita dari Zidan, ternyata Kakaknya sendiri yang memberitahu kepada Zidan.
"Bahkan Ka Syaila minta gue buat bantuin dia, gue kira Kakak lo emang perlu tinggal di rumah sakit jiwa."
"Gue sendiri bingung. Mau cerita sama Bunda, takutnya Bunda gak bakal percaya. Lagian gue gak tega juga, gue mikirin nasib Ka Syaila sama Bunda, pasti Bunda sedih banget."
"Lo yang sabar, semua pasti ada jalan keluarnya," ucap Zidan sambil menepuk punggung Syallief.
"Untungnya aja, gue punya Abang bukan Kakak. Ngeri gue," lanjutnya.
"Gak semua manusia, punya sifat dan ambisi ke Kakak gue."
"Iya sih. Eh, lo kan udah dianggap anak sama Om Raf, kenapa lo gak tinggal sama Om Raf aja?" tanya Zidan.
"Gue kan masih punya orang tua, ya kali tinggal sama Om Raf. Yang ada gue nyakitin hati orang tua gue."
"Ya udah, lo ceritain aja ke Om Raf sama Tante Zey. Tentang masalah lo ini, gue jamin mereka bisa bantu lo," saran Zidan.
"Kemungkinan mereka emang bisa bantu gue, tapi gue yang gak tega sama Ka Syaila. Gue juga gak pengin lihat Bunda sedih."
"Tapi, kalo Kakak lo udah kelewat batas. Lo tetep harus cerita. Entah itu sama orang tua lo, ataupun sama Om Raf."
"Pasti! Walaupun gue gak cerita pun mereka bisa aja tau sendiri, kayak lo contohnya."
"Iya sih, ya udah lah gak usah bahas Ka Syaila terus. Lo istirahat aja," suruh Zidan.
"Ini juga gue lagi istirahat, lagi nyantai." Zidan menatap Syallief dengan ekspresi datar, tetapi memang ucapan Syallief tidak salah. Mungkin emang ia yang salah bicara.
"Ok! Gue salah ngomong, maksud gue lo gak tidur? Kalo mau tidur di kamar gue sana," suruh Zidan meralat ucapannya.
"Gak ngantuk gue," jawab Syallief sambil mengambil handphone Zidan yang ada di meja.
"Ya udah, terserah lo deh mau ngapain. Gue mau makan dulu, laper. Lo mau sekalian makan gak?" tanya Zidan.
"Ntar deh, gue lagi pengin chatan sama Zita. Kangen gue," tolak Syallief. Matanya tetap fokus ke layar handphonenya, sedangkan Zidan mencibir. Lalu pergi menuju ruang makan.
Syallief menghampiri Zidan yang sedang enak-enak menikmati makanannya, ia duduk di sebelah Zidan.
"Mau makan juga lo?" tanya Zidan.
"Kagak, gue boleh pinjem motor lo gak? Buat jemput Zita, Zita minta dijemput soalnya."
"Lo mau jemput Zita? Yang bener aja. Biar nanti yang jemput gue aja, lo lagi luka gini," ucap Zidan sambil menghentikan acara makannya.
"Gue selesai makan langsung jemput Zita. Ntar gue suruh ke sini juga, buat nemenin lo," lanjutnya.
"Biar gue aja lah, kan Zita juga mintanya gue yang jemput. Luka gue juga gak terlalu sakit," tolak Syallief. Ia memang tidak ingin membuat Zita khawatir. Lagian lukanya hanya luka kecil, buat menjemput dan mengendarai motor, ia masih bisa melakukan.
"Lo yakin sanggup?" tanya Zidan memastikan.
"Sanggup lah!" jawab Syallief yakin.
"Ya udah, lo pakai deh handphone gue. Biar gue pakai yang satunya lagi," suruh Zidan.
"Serius nih? Lo emang Adek yang baik, pengertian banget," ucap Syallief sambil menepuk-nepuk punggung Zidan.
"Iya, tau. Gak usah pakai muji segala, pakai nepuk-nepuk lagi. Gak lihat gue baru aja makan, kalo muntah gimana?" geram Zidan.
"Ya, lo pungut lagi muntahan lo." Sebelum mendengar ocehan Zidan, Syallief terlebih dahulu pergi meninggalkan Zidan.
20 menitan Syallief baru sampai, ia menatap sekeliling mencari keberadaan Zita. Matanya tiba-tiba fokus ke arah Zita yang sedang berfoto dengan teman laki-lakinya. Ia terus menatap mereka dengan wajah datarnya, sampai akhirnya mata Zita menatap ke arahnya. Lalu Zita berpamitan kepada teman laki-lakinya, sebelum berjalan menghampiri Syallief.
"Kamu belum lama kan nunggunya?" tanya Zita.
"Belum," jawab Syallief cuek.
"Ko kamu cuek sih?" tanya Zita heran.
"Oh, aku tau nih kamu pasti cemburu ya? Kamu gak usah cemburu gitu lah. Ini resikonya kalo kamu punya pacar yang cita-cita pengin jadi model. Lagian tadi tuh acara sekolah, aku pasangannya sama dia. Lagi latihan juga buat besok," jelas Zita.
"Jadi kalo jadi model, kamu sering dong berduaan sama laki-laki lain? Terus foto bareng gitu?" tanya Syallief.
"Ya, iya dong sayangku. Model kan publik figur, mau dipasangin sama cewek ataupun cowok, ya kitanya harus profesional. Gak mungkin lah aku tolak, yang ada aku gagal buat jadi model."
"Udah ya, kamu jangan cemburu. Aku gak ngapa-ngapain lagian sama mereka, mereka cuman aku anggap sebagai teman kerja gak lebih," lanjut Zita sambil mengusap-usap pipi Syallief.
"Iya, aku coba buat ngertiin posisi kamu. Tapi tetep aja, kamu gak boleh terlalu deket sama mereka," ucap Syallief memperingati.
"Kamu ternyata kalo cemburu lucu. Lagian aku bukan cewek murahan kali, yang udah punya satu terus mau nambah lagi," ucap Zita sambil terkekeh.
"Maaf, aku terlalu cemburuan ya?" tanya Syallief.
"Gak papa sih. Udah ah, ayo pulang panas nih," suruh Zita.
Syallief menganggukkan, mereka berdua pun pergi. Mereka tidak langsung pulang, Zita meminta Syallief untuk menemaninya belanja. Syallief tentu saja menuruti keinginan Zita, mereka berdua pergi ke Mall.
Syallief menggandeng tangan Zita saat memasuki Mall tersebut, Zita tidak menyadari luka di tangan Syallief, karena Syallief memakai sarung tangan. Ia memang sengaja menggunakan sarung tangan untuk menutupi perban di telapak tangannya.
"Kamu mau beli apaan emang?" tanya Syallief.
"Niatnya aku mau beli baju sih buat besok, tapi bingung mau beli baju apa."
"Kamu mau pakai apapun, tetep cantik lah."
"Apaan sih," ucap Zita sambil mencubit perut Syallief. Sialnya cubitan Zita, tepat dibagian lukanya. Mati-matian ia menahan rasa sakit di perutnya, ia juga memegangi perutnya. Ia merasakan darahnya tembus lagi akibat cubitan dari Zita. Hanya saja Zita tidak menyadari, karena sudah melihat baju yang diinginkan. Ia langsung berlari kecil, untuk mengambil baju tersebut.
"Untung aja Zita gak sadar," gumam Syallief.
Ia berjalan perlahan menghampiri Zita, ia memutuskan untuk pergi ke toilet.
"Aku pergi ke toilet dulu ya, kamu pilih-pilih dulu aja. Nanti kalo udah kamu kabarin aku, lewat nomer Zidan. Soalnya aku bawa handphone Zidan," ucap Syallief. Zita hanya melirik sebentar, lalu menganggukkan kepalanya. Ia kembali fokus memilih baju-baju yang lain, yang akan ia beli nantinya.
"Pasti kebanyakan makan sambel, kalo makan sambel gak kira-kira sih," gumam Zita. Ia mengira Syallief sakit perut karena makan sambal, karena Syallief memang pencinta makanan pedes dan sangat menyukai sambal.
Di toilet, Syallief mengganti perbannya. Supaya darah yang tembus tidak semakin banyak. Ia juga membersihkan darah yang ada di kaosnya, bersyukur kaosnya berwarna hitam jadi tidak terlalu jelas. Ia memang menggunakan kaos dan celana milik Zidan. Saat semuanya sudah beres, Syallief lalu menemui Zita. Ternyata Zita masih setia memilih baju, padahal sudah hampir 1 jam. Syallief akhirnya memutuskan untuk menunggu, walaupun perutnya terasa nyut-nyutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Izinkan Aku Menggapai Dunia Ku [Completed]
Ficção AdolescenteSyallief Daiflan, seorang remaja yang mempunyai cita-cita menjadi seorang Pilot. Namun sepertinya menjadi seorang Pilot hanya sekedar angan-angan dan impiannya saja. Ayahnya, terus memaksa untuk menjadi Pengusaha. Sejak lulus SMP, Ayahnya bahkan mem...