Prolog

471 13 0
                                    

Kapan menikah? Itulah pertanyaan yang sudah menghampiri kehidupanku beberapa tahun ini. Awalnya aku biasa saja, lagipula aku ingin berkarir dulu. Namun itu semakin lama selalu berhasil mengganggu pikiran.

Bagaimana tidak? Hampir setiap hari, selalu ada orang yang memberikan pertanyaan selalu sama. Baik itu teman sekost ataupun teman sekantor, Apalagi teman-teman semasa sekolah, selalu memamerkan kemesraan dengan pasangannya di media sosial. Siapa yang tidak baper, setiap membuka aplikasi seperti WhatsApp, pemandangan itu yang harus aku lihat.  Apa harus aku uninstall aplikasi tersebut? Ah, tidak mungkin. Bagaimanapun aku tidak bisa lepas  dari teknologi di jaman semodern ini. Belum lagi aku membutuhkannya untuk pekerjaan atau sekadar chat dengan teman sekaligus siturahim.

"Dengan mbak Nhadira?" Ucapan pengemudi ojol itu, berhasil menyadarkan dari dunia lamunanku.

"Iya mas, sesuai di aplikasi ya." Aku memakai helm menaiki dan duduk dibelakangnya, sementara pengemudi ojol menganggap tersenyum.

Long weekend, Aku manfaatkan untuk pulang ke kampung halamanku. Untuk berlibur sekaligus melepas penat setelah menjalani rutinitas di kota seperti Jakarta ini. Ah, setidaknya ini bisa melupakan pertanyaan horor itu, untuk beberapa hari kedepan.

Pengemudi ojol ini, dengan lihai meliuk-liuk memecah jalanan Jakarta yang terkenal sangat macet ini. Sedari tadi, aku terus menatap jam arlojiku—berharap tiba di stasiun Gambir tepat waktu. Sebab jadwal keberangkatan kereta yang aku tumpangi pukul 13.30 kurang lebih setengah jam lagi.

                         🌙🌙🌙

Aku menginjakkan kaki di stasiun dan segera menyelusuri lorong-lorong, untuk menuju ketempat pencetakan tiket. Selanjutnya aku mencetak kode booking kepada seorang petugas bertugas disana, yang sebelumnya sudah ku pesan di KAI Acces, untuk mendapatkan tiket.

Selepas itu aku menuju ke ruang tunggu, untuk menunggu jadwal keberangkatan. Menengok kanan kiri semua kursi telah penuh dengan calon penumpang, setelah terus mencari-cari akhirnya aku menemukan bangku kosong—hanya ditempati seorang pria. Aku pun melangkah menuju kearahnya.

"Permisi mas, aku duduk disini ya," izin ku. Namun saat mendudukkan diri, pria itu justru agak menggeser menjauh dariku. Mataku melebar dan wajahku merengut, memperhatikan tingkah pria disampingku.

Aneh? Kebanyakan  justru wanita yang kurang nyaman saat bersama pria asing, bukan sebaliknya. Aku tidak mengenali wajah pria itu karena wajahnya tertutup masker dan memakai topi, dia terlalu sibuk dengan laptopnya. Jaman sekarang, hubungan sesama seperti jauh, meskipun mereka ada di tempat dan waktu yang sama.

Fokusku teralihkan. Setelah benda pipih yang kupegangi dari tadi bergetar. Lantas aku membukanya dan melihat dilayar, siapa yang meneleponku. Aku senyum kuda, ternyata seorang yang aku rindukan ketika pulang yaitu Ibu.

"Assalamualaikum, Bu," salamku.

"Walaikum salam, Nak. Sekarang sudah dimana?"

Suara wanita dari seberang, yang sudah beberapa Minggu ini. Aku tidak mendengarkannya.

"Masih di stasiun Bu. Masih menunggu kereta sepuluh menit lagi. "

"Ya udah hati-hati."

Aku tersenyum, "iya Bu."

"Oh, ya. Ibu hampir lupa? Ada hal yang ingin ibu tanyakan?"

Aku melipat kening. Dari suaranya, Ibu ingin berbicara serius denganku.

"Sepertinya topik sangat penting, Bu?

"Ya nduk. Ibu selalu berpikiran, kamu ini secara usia sangat matang untuk menikah, ah tidak-tidak. Kamu seharusnya sudah menikah, melihat semua temanmu disini sudah membina rumah tangga, dan bahkan sudah menjadi orang tua. Jadi Ibu ingin bertanya denganmu, apakah kamu sudah punya calon dan siap menikah?"

Aku terdiam. Sesekali menghela napas, aku pikir dengan pulang ke kampung. Aku bisa terbebas dari pertanyaan itu. Namun salah, Ibu kini ikut menanyakan hal sama dengan kebanyakan orang. Sepertinya di kampung nanti  hal itu, akan menjadi masalah serius bagiku.

Dan pria itu. Dia Satu gerbong denganku?


Jangan lupa beribadah

23 April 2021

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang