Bab 6

110 5 0
                                    

Sesampainya dikamar kosku, langsung meletakkan tas kantor di atas almari plastik, yang ada disudut kanan kamar kos, sembari membuka dan mengambil pakaian, sebelummenuju kekamar mandi untuk membersihkan badan yang sudah lengket karena keringat.

Selepas mandi dan berganti pakaian, aku segera keluar dari kamar mandi, setelah mendengar gedoran pintu. Sesampainya, aku langsung membuka, dan ternyata Maya sudah berdiri didepan pintu kamar, dengan membawa bungkusan yang aromanya seperti gado-gado.

"Ada apa May," tanyaku, sembari mengeringkan rambut dengan handuk.

"Ini teh, aku mau kasih gado-gado ini ke teteh. Teh Nad baru pulang kan, dan pasti belum makan," tuturnya, dia menyerahkan bungkusan itu dan langsung aku terima.

Terkadang lucu keakrabanku dengan Maya, lihatlah hubungan kami berdua seolah seperti saudara, atau teman yang sudah kenal bertahun-tahun. Padahal aku kenal Maya baru beberapa bulan yang lalu, ditambah lagi dia seseorang yang tidak terlalu mudah untuk berbaur dengan orang baru. Anehnya ketika dia bersamaku, menanggap sebagai kakaknya.

"Terimakasih May, kok repot-repot sekali kamu," ucapku, yang sebenarnya justru terbanding terbalik dengan ada didalam pikiranku.

"Tidak teh, aku tidak repot kok. Aku malah senang bisa berbuat baik dengan tetangga."

Aku termenung sejenak, dia terlalu baik dengan orang lain, tapi bagaimana orang ditolongnya itu malah berbuat sebaliknya.

"Kamu sering berbuat baik kepadaku, bagaimana misalnya, aku melakukan berbuat yang sebaliknya," tanyaku penasaran dengan jawabannya.

Maya tersenyum, "terus berbuat baik teh, karena itu telah diperintahkan oleh Rasulullah kepada kita. Beliau bersabda 'Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia menghormati tetangganya.' Dan di dalam riwayat lain disebutkan, 'Hendaklah ia berperilaku baik terhadap tetangganya.' mungkin dengan terus berbuat baik, perlahan-lahan tetangga yang awalnya mengganggu akan menyadarinya," penjelasannya. (Muttafaq 'alaih).

Aku menganggut paham. Terkadang diri ini malu dengan Maya, yang usianya enam tahun di bawahku. Namun pemahaman agamanya justru, jauh unggul dariku, dan dia juga lebih bijak dalam menyikapi persoalan.

Padahal aku ini dibesarkan di keluarga dengan agamanya yang baik. Masih ingat dulu ketika akan dimasukkan Ayah di madrasah, aku langsung mengambek dan tidak mau makan seharian. Padahal itu sudah bentuk keringanan karena tidak dimasukkan ke pesantren seperti kak Ammar dan Bagas. Akhirnya Ayah menuruti kemauanku disekolahkan umum, tapi ibu terus mewanti-wanti, agar terus belajar dan mendalami ilmu agama. Namun sayang, pesan ibu terabaikan begitu saja dan sekarang ada rasa penyesalan.

"Teh Nad kenapa bengong," tegurnya menyadarkanku.

"Eh, gak apa-apa May. Terimakasih ya sudah memberikan aku gado-gado. Insya Allah lain waktu, biar giliranku yang mentratirmu."

"Sama-sama teh, Maya kembali kekamar untuk menunaikan salat magrib dulu," pamitnya, sebelum masuk ke kamarnya.

Akupun langsung masuk kembali ke kamarku. Menuju ke kasur single bed serta mendudukkan diri diatasnya, dan membuka gado-gado tersebut. Baru setengah memakannya, aku teringat omongan ibu ditelepon tadi sore. Aku langsung menaruh sendok dibungkusan gado-gado, tiba-tiba nafsu makan hilang karena memikirkan hal itu kembali.

Meletakkan bungkusan gado-gado diatas kasur, aku bangun menapaki lantai keramik yang terasa dingin. Untuk melihat kalender tertempel didinding. Jari-jemariku terus menelusuri tanggal, sesekali menghela napas. Desakan ibu terlihat tidak masuk akal, karena harus menemukan jodoh dalam waktu lima Minggu. Aku mengeluarkan ponsel didalam saku celana, untuk menelepon Fani. Siapa tahu dia bisa membantu.

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang