Selepas berbuka dan menunaikan salat magrib, ruang tamu begitu ramai, terutama dengan kehadiran Reza berserta kedua orang tuanya. Ya, hari ini secara resmi, aku akan dilamar oleh pria itu. Tatapan Reza kearahku membuat terasa tidak nyaman, salahkan aku yang tidak mempunyai rasa kepada calon suami sendiri.
Mungkin ini lamaran yang tidak pernah aku impikan, ingin sekali berteriak kencang dan berharap melamar diriku bukan Reza melainkan Azzam. Namun melihat kebahagiaan yang terpancar di raut wajah Ayah dan Ibu tidak ingin membuat mereka berdua bersedih.
"Hmm, sebelumnya terima kasih pak Heru, yang telah menerima kedatangan kami semua," ucap om Heru yang tidak lain tidak bukan ayah Reza.
"Sama-sama pak Heru," balas ayahku tersenyum kearahnya.
"Jadi begini, mungkin kedatangan kami semua sudah pak Heru ketahui. Saya mewakili putra saya Reza, berniat untuk meminang putri bapak yang bernama Nadhira Fitria," katanya sembari menatapku sekilas dan tersenyum.
"Saya menghargai dengan niat bapak untuk meminang putri kami, tapi semua keputusan saya serahkan kepada Nadhira," ucap Ayahku, yang kemudian menoleh kearah ku.
Kini semua sudut mata mengarah ke arahku. Bingung, bagaimana untuk menjawab lamaran ini, terlebih melihat wajah teduh yang seperti berharap aku menerimanya. Namun disisi lain hati kecilku masih saja menolak lamaran ini.
"Nadhira, maukah kamu menjadi pendamping hidupku yang menemani suka dan duka, serta menjadi ibu dari anak-anakku kelak," mohon Reza penuh pengharapan.
"Ayo nduk, jawab dan beri kepastian untuk Reza," kata Ibuku, sembari mengusap punggung dan memegangi tangan kiriku yang sudah berkeringat dingin.
Aku menghirup napas dalam-dalam, sebelum mengeluarkan secara perlahan, bismillah, mungkin ini takdir dan terbaik untukku.
"A-ku, menerima niatmu Za. Aku bersedia menjadi pendamping hidupku dan menemani suka dan duka, serta bersedia menjadi ibu dari anak-anakmu," jawabku, dengan kedua tangan bergetar meremas gamis.
"Alhamdulillah," jawab semuanya, serempak hingga membuat satu ruangan menjadi menggema.
Aku meneteskan cairan kristal, ini bukan air mata kebahagiaan, melainkan kesedihan. Sedih karena kenyataan tidak sesuai apa yang diangankan, kecewa terhadap diri sendiri, karena telah terlalu banyak berharap kepada makhluk, yang pada akhirnya membawa kita terhempas kebawah dan merasakan rasa sakit yang tidak terkira.
"Wajar saja, Reza sangat berharap denganmu Nad, kamu selain cantik, tentu saja baik dan insyaallah akhlakmu tidak diragukan lagi. Terlebih kamu saat ini memakai gamis berwarna biru, tampak cantik deh pokoknya," puji dari ibu Reza kepadaku.
"Ah, Tante. Aku ini juga masih banyak kekurangannya kok," balasku merendah, karena pujian akan membuat seseorang lupa asalnya dan merasa melangit, tapi entah kenapa merasa nyaman saat berbicara dengan beliau, sepertinya dia memiliki sifat keibuan. Ibu Reza memang begitu baik, aku jujur dan akui suka dengannya, tapi itu berbeda dengan anaknya. Ya Allah, maafkan hamba yang masih belum bisa mencintai pria yang akan menjadi suamiku kelak.
"Tapi Nadhira ini anaknya agak sulit untuk diatur, jadi maaf kalau nanti sedikit merepotkan," sahut ibu, aku mengerut dan langsung menyenggol lengannya, bisa-bisanya ibu membuka aib anaknya sendiri didepan mereka.
"Namun begitu dia anaknya baik, selalu mengetumakan keluarganya sebelum kepentingan pribadi," lanjutnya.
"Gapapa, Bu. Lagian pernikahan bukan untuk mencari yang sempurna, melainkan untuk saling melengkapi," ucap ibu Reza yang terus memberikan senyuman kearahku.
"Oh ya, kami boleh minta agar pernikahan digelar Minggu depan," pinta ayah Reza, yang membuat seluruh aliran darah didalam tubuh terasa terhenti seketika, kenapa dia meminta agar segera diselenggarakan pernikahan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
DuchoweNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...