Aku jujur sedikit kaget penampilannya saat ini, lebih sopan tidak lagi memakai celana jeans yang lututnya bolong dan sekarang dia justru lebih berbeda dengan potongan rambut pendek, tidak seperti dulu yang panjang hingga sebahu. Pria itu terus tersenyum dan memandangiku, aku merasa risih saat dia terus begitu.
"W-walaikum salam, Za," ucapku, mencoba menahan rasa sesak yang sudah menjalar didada.
Reza berjalan tiga langkah kearahku.
"Kamu baru pulang dari Jakarta." Dia menarik kedua alisnya keatas.
"Ya, baru tiba tadi pagi, kamu kesini mau ngapain," tanyaku sebenarnya aku tahu maksud dia.
Reza tersenyum menatapku lekat-lekat, sungguh cara dia begitu siapa saja wanita posisinya seperti diriku pasti akan merasakan sama kurang nyaman.
"Aku, ingin ketemu sahabat kecilku, bagaimana kabarmu?"
"Baik," jawabku singkat.
Dia mengalihkan perhatian ke langit, "Nadhira, aku tahu langit itu," dengan malas aku melihat langit sekilas, "dulu hidupku seperti langit di atas sana, cerah. Tapi semua berubah, ketika kamu meninggalkan kota ini untuk merantau dan tidak saja kamu juga meninggalkan dari hatiku."
Aku menghela napas, sampai kapan dia terus mengejar ku seperti ini. Sudah beberapa kali tolak dia, tapi tetap saja bersikukuh menemuiku.
"Kenapa harus aku," sambil menunjuk diriku sendiri, "kamu sudah tahukan, itu sudah masa lalu. Lebih baik dikubur dalam-dalam. Dan seharusnya kamu bersyukur, aku masih menganggapmu sahabat. Meskipun, apa yang kamu lakukan dulu sungguh menyakitkan," tuturku, hingga tak terasa bulir bening jatuh begitu saja dari kedua mataku. Meskipun sudah berusaha ditahan sedari tadi.
Raut wajah Reza berubah sedih, dia hendak menyentuh pergelangan tanganku. Namun aku langsung mengenalnya, serta mundur beberapa langkah. Ketemu dia lagi, membuat luka di hati yang selama ini sudah berhasil aku tambal, kembali berlubang lagi.
"M-maafkan aku Nad, tolong beri aku kesempatan lagi," suaranya bergetar.
Aku menggeleng. Tak akan memberikan kesempatan untuk menyerahkan hatiku kepada pria semacam dia. Cukup kesalahanku dulu itu, dan tidak ingin mengulangi lagi.
"Kamu jangan egois Nad! Kamu tidak tahu bagaimanapun perasanku selama ini!" bentaknya, raut mukanya menegang hingga terlihat urat leher.
"Egois? Justru kamu yang egois, memaksa seseorang yang tidak suka denganmu," kataku. Aku meninggalkan dia begitu saja dan langsung pulang ke rumah, sembari menghapus air mataku terus mengalir. Aku mendenger dia mengumpat-ngumpat.
🌙🌙🌙
Sesampainya di rumah aku mendengus kesal, hari pertama pulang jauh dari keinginanku, entah kenapa ada saja gangguannya. Aku langsung menuju ke dapur, sebab terasa tenggorokanku kering. Mengambil gelas dari rak piring untuk menuangkan air putih kedalamnya dari dispenser. Setelah itu melangkah ke meja makan, dan menarik kursi untuk kemudian duduk.
Aku terbiasa minum sambil duduk, mengikuti Sunnah Nabi, ya walaupun aku belum menjadi muslimah yang baik. Namun minum sembari duduk secara medis itu juga baik untuk kesehatan ginjal.
Baru saja kedua bibirku, menyentuh ujung gelas. Namun ada seseorang yang merebutnya hingga air dalam gelas itu, tumpah dibaju. Aku memejamkan mata sebentar dan mengepalkan kedua tangan, pelakunya siapa kalau bukan adik lelaki satu satunya. Merubah posisi duduk menjadi ke samping kiri dan lihatlah dia hanya senyum nyengir tanpa berdosa sedikitpun.
"Kamu, tidak mengganggu kakak sekali saja, bisa gak sih Gas!" Protesku terhadap Bagas, dia memang hobinya menjailiku saat pulang, dia masih duduk dibangku kuliah dan sekarang ini semester enam. Dimana sibuk-sibuknya menyusun skripsi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
SpiritualNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...