Bab 15

109 5 0
                                    

Mereka berdua saling menukar pandangan tersenyum, dan disini aku masih tidak mengerti dari sikapnya seolah Azzam menunjukkan sudah kenal dengan wanita itu. Apalagi dia langsung tersenyum saat menyadari wanita bernama Keysa.

Aku akui Kesya ini sangat cantik dan anggun, apalagi saat menggunakan gamis dan hijab berwana putih, dilihat dia adalah seorang muslimah yang taat. Saat dia tersenyum pun dapat menyejukkan hati orang lain, termasuk diriku.

"Oh ya, aku lupa memberitahukan kepada mas Azzam. Kalau mbak Keysa aku ajak ikut datang ke Jakarta," ucap Adinda.

"Oh, ya mbak. Kenalin dia adalah mbak Keysa, yang sudah kuanggap kakakku sendiri," lanjut Adinda.

Aku langsung mengalihkan pandangan ke Adinda yang hanya tersenyum. Kemudian dia menyuruhku isyarat agar Keysa mau berkenalan denganku.

Tak seling kemudian, Keysa menatapku dengan senyum ramah, tanpa diberi aba-aba dia langsung menyodorkan tangannya kearahku, membuat aku mau tidak ma menyalaminya.

"Perkenalkan namaku Keysa," salam kenalnya.

"Nadhira," balasku.

"Keysa ini rumahnya berdekatan dengan kami dan saling berhadapan, hanya terpisah dengan jalan raya saja," jelas Azzam, aku hanya mengangguk saja.

Tak selang kemudian, tiket yang kami pesan sudah tercetak dan kami langsung menuju ketempat penarikan tiket tersebut, sebelum masuk kedalam bioskop.

Selama berjalan menulusuri lorong bioskop, aku bersama Maya, Fani dan Kaffa. Sementara Azzam bersama adik perempuannya Adinda dan wanita yang bernama Keysa itu. Mereka bertiga berjalan tiga langkah didepan kami, dan yang membuatku penasaran karena interaksi Azzam kepada Keysa yang begitu dekat sekali. Dari cara pandang, bicara dan bahkan senyuman jarang sekali dia tunjukkan kepada wanita lain. Dan anehnya kenapa aku merasakan tidak suka, saat mereka berdua berinteraksi sangat intens seperti itu, terlebih didepanku.

"Woi, ngapain dari loket loe bengong saja saat kami saling ngobrol," cetus Fani sembari meninju pekan lengan kiriku.

"Eh, gak. Siapa yang bengong," bantahku, sebenarnya aku sendiri juga menyadari kalau dari tadi, atau lebih tepatnya sejak kehadiran wanita itu. Membuatku lebih sering diam.

"Loe Nad. Siapa lagi, kan gue tanyanya sama loe, tadi Maya nanyacke loe tapi tak ada sahutan dari loe sendiri," cibir Fani dengan memajukan bibir merahnya.

"Ya, aku memang sedang melamun," ucapku sembari menghirup udara dalam-dalam sebelum melepaskan secara perlahan. Sekali aku menatap mereka berdua, yang berinteraksi masih sama. Namun jarak antara kami dengan mereka semakin melebar, akibat aku harus menjawab pertanyaan dari Fani.

"Teh, kenapa mendadak melamun. Apakah teteh sedang menghadapi masalah," tanya Maya, sorot kedua mata birunya mengarah ke aku.

Ya aku ada masalah, tapi tidak mungkinkan. Kalau aku mengatakan ke mereka menghadapi masalah karena kehadiran wanita bernama Keysa itu, kepada mereka semua.

"Apakah ini masalah, tentang asmara," dilanjutkan oleh Kaffa, dia menelisik ke sorot mataku, apa dia sadar kalau aku sedang memperhatikan antara Azzam dan Keysa.

"Loe suka seseorang Nad, jawab jujur," tambah Fani.

Ya ampun, kenapa pertanyaan dari Fani barusan membuatku semakin bingung. Ya Allah, apa yang hamba jelaskan kepada mereka bertiga. Pertanyaan mereka semua membuat posisiku terpojok tidak tahu jawab apa, jawab dengan jujur. Mereka akan tahu, kalau aku ternyata menyukai Azzam, dan sekarang sedang cemburu dengan Keysa, dan itu tidak mungkin katakan kepada mereka. Jawab dengan bohong, hanya akan dosaku semakin menumpuk.

"Jawab teh, jangan pendam masalah sendiri," nasehat Maya.

Perlahan kelopak atas dan bawah mataku menyatu, sebelum membukanya kembali. "Aku hanya memikirkan keadaan ibu dirumah," jelasku, yang pada akhirnya membawa diri ini kesebuah kebohongan. Ya Allah, ampuni hamba yang telah berdusta di bulan-Mu yang suci ini. Double sudah dosaku.

Kaffa menatapku menyidik, ini manusia sepertinya suka mengintrogasi orang lain. Kenapa dia masuk ke kepolisian saja, tepatnya sebagai penyidik di Direskrim saja. Disana dia bisa menanyai orang dari berbagai kejahatan.

"Ibumu kenapa?" Tanyanya.

"Ibu sedang kangen denganku," sahutku, maafkan Nadhira Bu. Karena sudah membuat dusta atas nama ibu, meskipun sebenarnya juga kangen dengan anakmu ini.

"Kenapa kamu tidak telepon saja teh," ujar Maya.

"Betul itu, telepon nyokap loe sekarang," timpal Fani.

"Kenapa diam. Atau kamu selama ini, tidak pernah menelepon ibumu terlebih dahulu," lanjut Kaffa.

Pria satu ini membuatku kesal, tapi apa yang dia ucapkan benar apa adanya. Selama ini, aku tidak pernah menelepon baik ayah maupun ibu terlebih dahulu. Pasti mereka yang terus mengabari diriku, mendadak ada rasa penyesalan di relung hati. Sekarang hanya bisa berdoa, ya Allah ampunilah dosa kedua orang tua kami, sebagaimana mereka menyayangi kami waktu kecil. Sudah besarnya kesalahanku ini, karena tidak bisa berbakti dengan baik, kepada kedua lentera hidup ini.

"Kita sudah ada didalam nih, lebih baik kita bahas film dan mencari tempat duduk masing-masing," kataku berusaha mengalihkan pertanyaan dari mereka dan berharap bisa lupa dengan hal ini. Didalam hati masih begitu bergemuruh, karena masih tersisa rasa penyesalan. Ya Allah jagalah mereka berdua, doa yang dipanjatkan kepada kedua orang tuaku, sambil terus beristighfar.

Namun perkataan mereka semua, membuatku tersadar, dan berjanji setelah ini akan sesering mungkin untuk menghubungi Ayah dan ibu. Untuk menanyakan, walaupun sekedar bagaimana keadaannya disana.

🌙🌙🌙

Baiklah lupakan sejenak masalah ini. Aku sudah dan menempati kursi penonton yang berada di barisan tengah, sesuai tiket yang telah dipesan. Dimana diapit oleh Maya yang ada sisi kanan, sementara Fani berada di samping kiriku. Selain itu, Adinda dan Keysa berada tepat didepan bawah kami. Sedangkan Azzam dan Kaffa berada satu baris dengan Adinda dsn Keysa, hanya saja terpisah oleh tangga.

Sesaat itu, pihak teater yang mana film yang akan kami putar memberitahukan peraturan selama menonton. Tak seling kemudian, tirai berwana merah dibuka, dan pemutar film mulai dinyalakan dan memantulkan cahayanya di layar lebar.

Para penonton mulai serius menyimak dan mengikuti jalannya film. Ada begitu seriusnya untuk menerka-nerka alur film, dan aja juga yang terlihat begitu santai sembari memakan popcorn.

Aku merilik kearah Maya, terlihat dia seperti lihat film Negeri Lima Menara ini.

"Kamu baru menonton film ini," tanyaku.

"Ya teh, sumpah baru mulai, tapi sudah membuatku penasaran," jawabnya dengan terus menghadap ke layar. Aku hanya mengangguk.

Suasana terasa hening, hanya beberapa orang terlihat sedang bisik-bisik. Wajar saja mereka sangat patuh seperti itu, karena membuat kegaduhan, tak segan petugas akan menggeluarkan dari ruangan teater.

"Teh, ini film katanya diangkat dari sebuah novel best seller, apakah itu benar," tanya Maya, sepertinya dia memang benar-benar belum tahu tentang Negeri Lima Menara, baik itu versi novel maupun filmnya. Sedikit aneh memang, padahal dia suka novel dan film religi, tapi film terkenal seperti malah tidak tahu.

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang