Setelah melihat tanggal yang diletakkan diatas meja, membuatku semakin ingin menyerah dan menerima permintaan dari ibu. Dalam seminggu, tidak mungkin rasanya bisa mencari jodohku sendiri. Lagipula seminggu ini, sudah berusaha untuk membuang perasaanku kepadanya.
Orang yang didambakan, terasa sulit untuk menggapai tangannya untuk bersanding denganku. Ah, sudahlah Nad. Mungkin dia bukan jodohmu. Tak seling lama kemudian, benda pipih yang tergeletak di atas meja bergetar. Dan aku langsung mengambil dan melihat dan ternyata ibu menelepon.
"Assalamualaikum Nad, bagaimana keadaanmu nak."
Aku tersenyum, dia adalah wanita yang selalu memikirkan keadaan anak-anaknya, dimana pun mereka tinggal.
"Alhamdulillah Bu, sehat dan baik."
Kemudian hening beberapa saat kemudian, sebelum ibu bertanya hal sudah aku duga.
"Nad, bagaimana sudah ada calon."
Aku menghela napas, "belum, Bu sepertinya aku menerima tawaran darimu."
"Kamu yakin nak. Lalu bagaimana dengan pria yang pernah ceritakan dengan ibu waktu itu."
"Sepertinya Nadhira yang terlalu berharapkan Bu, nyatanya aku bukan jodohnya Bu."
"Apakah putusanmu sudah bulat nak. Ingat to nak, pernikahan itu, bukan untuk main-main. Saat menikah, harus patuh dan taat pada suamimu, bukan kedua orang tua."
"Aku sudah memutuskan, dan Nadhira sangat yakin dengan apa yang sekarang aku ambil."
Aku tidak pilihan lain, selain ini. Berharap semua ini jadi terbaik untukku.
"Baiklah, kalau begitu nanti ibu kabarkan kepada Reza, Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Setelah itu sambungan telepon terputus. Aku menyadarkan kepala di kursi, sembari memutar setengah kekanan dan kiri. Sekali-kali menatap langit-langit ruangan, ini merupakan hari-hari terakhir bekerja disini, sebelum berhenti, dan membuka usaha toko buku yang sudah kurencanakan sebelumnya.
"Nadhira, nanti setelah istirahat siang, temanin saya untuk menemui client," perintah pak Hendra, membuat kaget seketika, terlebih posisi dudukku saat ini, dan langsung merubah posisi.
"Maaf pak," aku menghela napas, "baik pak, pertemuan di kantor atau keluar," tanyaku.
"Didalam, diruang metting. Oh ya, nanti tolong kabarin bagian keuangan untuk segera nyiapin sejumlah uang untuk THR untuk para karyawan nanti." Pak Hendra menyerahkan sebauh berkas kepada ku.
"Baik pak." Mengerut, karena didalam berkas itu terselip amplop coklat.
"Ini apa pak?" tanyaku.
Pak Hendra mengambil udara sebelum melepaskan perlahan, dan kemudian tersenyum, "selama ini, kamu sudah terlalu banyak mengabdi untuk perusahaan ini, dan untuk prestasi sudah tidak diragukan lagi. Karena hasil kerja kerasmu, baik saat kamu masih di marketing maupun sekarang menjadi sekertaris, membuat perusahaan ini menghasilkan profit yang menguntungkan."
"Dan ini adalah cek, tolong terimalah," lanjutnya.
Aku merasa tidak enak soal itu, bagaimanapun semua keberhasilan perusahaan ini, tidak terlepas dari semua orang terlibat. Lagipula apa yang ke kuberikan tidak sebanding dengan apa dilakukan oleh para kurir.
"Maaf, pak saya tidak bisa terima ini," tolakku.
Pak Hendra mendengus, "Nad. Ini bukan dari keputusan dari saya saja. Melainkan dari para pimpinan direksi, sebagai penghargaan untuk setiap karyawan yang akan keluar dari perusahaan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
SpiritualNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...