Epilog

223 3 0
                                    

Waktu tak terasa berjalan begitu cepat. Kini sebentar lagi kami berdua akan menjadi sepasang suami istri, aku menatap kearah cermin yang menampilkan wajah sudah dirias bulsh on di kedua pipi, ditambah dengan menggunakan gaun pengantin berwana cokelat susu dan dipajdukan hijab dengan warna senada, entah kenapa malah jadi senyum sendiri. Rasa gugup sudah merasuki seluruh tubuh, padahal akad masih sekitar lima belas menit lagi.

Aku berusaha menetralkan detak jantung yang sudah tidak karuan, untung kak Naila menemani disamping sehingga, tidak sampai panik. Jujur saja, aku masih tidak menyangka untuk menikah, terlebih selama ini tidak banyak lelaki yang serius untuk menuju jenjang ini.

"Gugup, ya Nad," tanya Kak Naila, aku menangguk pelan.

Tak seling kemudian layar televisi yang sudah dipasang di kamarku sudah tersambung ke masjid yang akan dilaksanakan akad nikah pagi hari ini, yang lokasinya tidak jauh dari rumahku. Aku bisa melihat Azzam sudah duduk di dalam masjid, dimana didepan ada sebuah meja kecil. Pria itu mengenakan jas yang warnanya selaras dengan gaun aku kenakan sekarang, dan mengenakan peci. Terlihat dari layar raut wajahnya tak kalah gugup. Namun sebisa mungkin dia untuk menenangkan diri.

Aku menarik napas, sebelum menyaksikan saat dia mengatakan sebuah janji suci, yang akan mengikatku dalam hubungan suci dan diridhai oleh-nya. Setelah itu, ayah duduk  berhadapan dengan Azzam, dan didampingi oleh petugas KUA. Aku langsung mengejamkan mata, sesaat Azzam menjabat tangan Ayah.

"Saya nikahkan dan kawinkan, engkau dengan putri saya Nadhira Fitriya binti Heru Sugianto dengan mas kawin emas mulia 10 gram dan seperangkat alat sholat tunai, serta hafalan surah Al-rahman dibayar tunai," terdengar Ayah mengucapkan dengan lantang.

Aku membuka mata, menyaksikan bagaimana Azzam menarik napas, kemudian. "Saya terima dan kawinnya Nadhira Fitriya binti Heru Sugianto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," jawab Azzam tidak kalah lantang.

Tak selang kemudian, Azzam membacakan surat Al-rahman, sesuai dengan permintaanku waktu dia melamar.

"Ada yang kau inginkan mahar apa seperti apa nanti,"tanyanya sembari melihat petasan yang menghiasi langit untuk meriahkan malam takbiran.

"Aku terserahmu, yang penting tidak memberatkanmu dan tidak merendahkanku sebagai wanita, hanya saja aku minta satu hal," ucapanku menoleh kearahnya.

Dia mengerut, "satu hal apa itu?"

Aku tersenyum, "boleh aku minta kamu saat akad nanti membacakan surat Al-rahman."

Dia tersenyum, "baiklah kalau itu permintaanmu, aku sanggupi."

Suaranya begitu merdu, hingga akhir ayat. Setelah itu penghulu bertanya kepada saksi, dan kedua saksi mengatakan sah, tak lama kemudian ucapan hamdalah menggema.

Aku menitikkan air mata, kini surga dan baktiku sudah berpindah kepada orang yang baru saja mengucapkan akad. Kemudian kak Naila memelukku.

"BARAKALLAH LAKA WA BARAKA 'ALAIKA WA JAMA'A BAINAKUMA FIL KHAIR. Selamat ya Nadhira, mulai sekarang kamu jadi seorang istri. Semoga keluargamu dengan Azzam sakinah mawadah warahmah, ya, " katanya sekaligus mendoakan, sembari  mengusap punggungku, dan kuaminkan dalam hati.

Kemudian ibu masuk, terlihat kedua sudut matanya sudah berair. Aku paham kondisi ibu saat ini, dia begitu senang saat anak perempuannya pada akhirnya menikah juga. Namun dibalik senyumannya itu, seperti ada sebuah kesedihan.

Aku melepaskan pelukan dari kak Naila, dan langsung beralih ke wanita yang telah berjuang susah payah, mengandungku selama sembilan bulan dan membesarkan dengan penuh kasih sayang.

Lagi-lagi aku menitikkan air mata, didekapan ibu. Rasanya, aku masih belum bisa mempersembahkan yang terbaik untuknya. Namun hari, dia harus melepaskanku.

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang