Aku masih terdiam, pria itu mengenal namaku darimana? padahal saat duduk di satu gerbong, sama sekali kami berdua tidak saling mengenalkan nama satu sama lain. Bahkan ia saja terkesan cuek dan kaku, pandanganku terarah dengan tas yang digenggam tangan kanannya.
Tunggu dulu, aku sangat familiar dengan tas merah muda itu. Bagaimana tas itu bisa ditangannya?
"Kenapa tasku ada dikamu?" Tanyaku.
"Apa kamu punya masalah?" Bukannya menjawab pertanyaanku, dia justru melontarkan pertanyaan kepadaku.
Aku memutar otak. Bagaimana ia bisa mengetahui apa yang sedang kualami? Memang benar saat ini aku sedang mengalami masalah, karena tablet yang biasa digunakan untuk bekerja hilang. Eh, jangan-jangan? Tablet itu ada didalam tas merah muda itu. Aku baru ingat, setibanya di kos belum melihat benda tersebut.
"Apakah ada barang yang hilang dan itu sangat penting untukmu," tanyanya kembali.
Dia menatapku seperti mengerti apa yang kuhadapi saat ini. Sorot mata kami berdua saling bertemu, aku mengamati kedua matanya berwarna cokelat itu. Dan anehnya kenapa kedua pipi terasa panas, ada apa denganku ini. Dia langsung mengalihkan pandangannya seperti didalam kereta saat itu.
"Ini tasmu kan," sedikit mengangkat tas merah muda itu, "lain kali jangan ceroboh saat berpergian, apalagi didalam tas ini ada barang sangat penting untukmu. Pasti kamu mengalami masalah," ucapnya.
Songong tuh orang! Nganggap aku orang yang ceroboh, padahal yang namanya musibah tidak ada yang tahukan. Eh, tunggu. Tumben ia bicara panjang seperti itu.
"B-bolehkah, minta tasku," pintaku. Nadhira! Kenapa kamu mendadak gugup seperti ini, jangan sampai kamu jatuh hati dengan cowok songong dan es batu itu.
"Ini," katanya dengan wajah datar.
Nah kan, baru saja dibilang apa. Sifat es batunya muncul, aku maju lima langkah kedepan untuk menerima tas itu kembali.
"Terimakasih, sudah mengembalikan tasku," ucapku. Dia hanya tersenyum tipis dan berlalu begitu saja, tapi itu membuat detak jantungku berdegup kencang.
Aku penasaran dengan sosoknya, memegang tangan kanannya, spontan ia melepaskannya dan membalikkan badan. Kedua bola matanya sedikit terkejut, saat menatapku.
"Mbak, bisa sopan sedikit tidak," tegasnya.
Ya benar juga sih. Kenapa aku tidak memikirkan itu, lagipula kok bisa aku melakukan ini, tanpa merasa salah ketika memegang tangannya.
"Maaf mas itu tadi reflek, dan kenapa mas langsung marah begitu." Aku memaksakan senyuman.
"Maaf, mbak. Sebelumnya apa yang perbuat mbak itu salah didalam agama. Mbak tahu, seorang lelaki lebih baik ditusuk pakai jarum, daripada harus bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya. Aku sedang berusaha menjaga itu mbak. Maaf, bukan maksud menggurui tapi, memberitahukan kepada mbak, dan semoga mbak paham," jelasnya.
Ya ampun Nadhira. Kamu lupa, seharusnya aku sudah tahu saat kami berdua bertemu didalam kereta. Dia nampaknya seperti religius. Kenapa aku mengatakan itu, pertama saat didalam kereta saja dia membaca Alquran, sedikit orang seperti dia. Dari situ bisa diambil kesimpulan, bahwa ia rajin membaca Alquran, tidak sepertiku yang setiap bulannya bisa dihitung dengan jari. Paling rajin, ya saat bulan Ramadhan saja.
Kedua setiap kami beradu pandang, sekilas kemudian ia mengalihkan pandangannya dan selalu berucap istighfar. Kalau dilihat ia seperti kak Ammar tingkahnya seperti itu, ketika berinteraksi wanita lain, kadang membuatku kesal juga sih. Untung sama adiknya tidak.
"Sekali lagi minta maaf mas, masa begitu saja dibuat serius."
Dia menghela napas tanpa menatapku sedikitpun, "mbak, jangan membiasakan hal remeh seperti ini. Kalau dosa kecil saja sudah diremehkan, bagaimana ketika melakukan dosa besar, yang ada malah dianggap biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
SpiritualNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...