Bab 19

114 5 0
                                    

Sesuai kesepakatan saat lamaran kemarin, hari ini aku dan Reza menuju ke sebuah butik untuk melakukan fitting baju pernikahan nanti. Awalnya aku menolak saat pihak Reza yang akan menyiapkan semua pernikahan kami termasuk gaun pengantin ini. Namun Reza tetap memaksa hingga tidak mempunyai pilihan lain selain menerima tawarannya. Padahal dalam hati ingin semua pernikahan semua biaya dari tabungan pribadi yang selama ini ku kumpulkan.

Selama perjalanan aku memilih diam saja, tidak terlalu banyak berbicara. Saat dia bertanya atau mengajak berbicara, aku hanya menjawab sekenanya saja. Di dalam mobil tidak hanya kami berdua, melainkan ada Bagas yang duduk dikursi belakang untuk menemani ku, yang akhirnya menjadi lawan bicara untuk Reza. Alhamdulillah, setidaknya dengan kehadiran Bagas sedikit mengurangi rasa tidak nyaman saat dekat dengan Reza.

Apakah ini salah? Tentu saja salah, seharusnya aku belajar untuk menerima Reza dan tidak membencinya. Namun hati tetaplah hati, yang tidak bisa untuk dibohongi. Meskipun sebisa mungkin untuk membuka hati untuk pria yang ada disampingku ini, tetapi tetap saja, hati kecil tidak bisa berbohong. Kalau hingga detik ini masih berharap Azzam lah pria yang akan menjadi imamku nanti.

Ya Allah, maafkan saat hamba akan dipinang seorang pria, tapi malah masih pria lain yang tidak ditakdirkan untukku. Aku berharap, perasaan untuk Azzam segera hilang, dengan berharap bisa mencintai Reza. Bagaimanapun aku ingin pernikahan nanti bahagia, meskipun tidak bersama dengan seorang yang diimpikan.

"Kak, sampai kapan kamu diam seperti itu," tanya Bagas, yang menyadarkan dunia lamunanku.

"Eh, ya gas. Ada apa?"

Lelaki itu berdecak kesal dengan meremas tangannya sendiri yang diperlihatkan kearahku. "Kita sudah sampai kak, tapi masih bengong. Ada sih kak, dari diam terus, tidak seperti biasanya yang cerewet."

Aku melotot kearahnya tidak terima dengan ucapnya yang terakhir itu. Enak saja, menuduhku cerewet, tapi dia tidak sadar dengan dirinya sendiri. Kalau Bagas itu copy pastean dari ibu. Meskipun dia lelaki, huh, ngomongnya ngalahin perempuan. Astaghfirullah, kenapa aku malah ngghibahin adik sendiri, maafin kakak ya Gas, he..he..he..

"Ayo," ucap Reza, terlebih dahulu membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Eh, tumben pria itu tidak terlalu banyak bicara, aku langsung mengikuti dari belakang

Sesampainya didalam kami bertiga duduk di sofa, untuk menunggu onwer butik datang menghampiri kami. Aku melirik kearah Reza, dari tadi dia tidak berniat untuk mengajakku bicara, terlebih dia malah terlalu asyik membaca majalah yang disediakan.

"Kak, aku keluar dulu ya, ada telepon masuk nih," kata Bagas, sembari berjalan keluar.

"Ya, nanti balik kesini lagi Gas," balasku.

Kini tinggal kami berdua, membuatku bingung untuk membuka pembicaraan ini. Pasalnya Reza sedari diam terus, semakin lama semakin kesal dengan pria itu. Padahal saat ini yang dibutuhkan adalah komunikasi, agar tidak terjadi Miss, terlebih agar aku berusaha mengenal lebih jauh kepribadiannya saat ini.

"Tumben Za, dari tadi kamu...."

"Nad, onwernya datang," ucapnya yang memotong perkataanku, sembari berdiri tersenyum saat disambut onwer butik ini yang merupakan wanita yang usianya kira-kira masih tiga puluhan tahun. Aku ikut berdiri dan menyalami onwer itu. Sebenarnya aku kesal dengan sikapnya yang mendadak dingin seperti itu.

"Dengan mbak Nadhira dan mas Reza," tanya wanita itu, kami berdua menangguk mengiyakan.

Aku mendengarkan saat wanita itu, menjelaskan berbagai bentuk gaun pengantin muslimah yang akan kukenakan dengan sebuah album yang ditunjukkan keodaku. Setelah menimbang-nimbang aku akhirnya memilih gaun yang berwarna cokelat susu.

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang