Bab 11

90 5 0
                                    

Semakin kesini pertanyaan ibu membuatku semakin pusing, seperti tadi dia menanyakan kepadaku apakah sudah calon menantu untuknya. Tentu saja jawabanku belum, bagaimana sudah ketemu, jodoh itu seperti hilal yang nampak pada waktunya.

Namun jawaban itu, justru membuat ibu semakin mendesak. Kalau perlu dia menyusul ke Jakarta, untuk mengetahui bagaimana keseriusanku disini dengan permintaannya. Semoga itu tidak terjadi, kalau ya. Sudah pasti kehidupanku selanjutnya, akan semakin rumit lagi. Bisa jadi ibu menawarkan kepada para pemuda yang ditemuinya, agar mau menikah denganku. Agak menyebalkan memang, tapi dia begitu karena aku juga sebagai Putri satu-satunya yang saat ini belum menikah. Aku melihat google calendar, dan menghela napas. Lebaran tinggal dua Minggu lagi, semakin sedikit waktu untuk mencari jodohku.

Baru saja, aku hendak memasukkan gawai kedalam tas, tapi benda pipih itu kembali berbunyi lagi. Melihat sekilas dilayar ponsel itu, membuat kedua mataku terbelalak dan diikuti sebuah dengusan. Ponsel itu menampilkan nama yang sebenarnya tidak ingin aku menyebutnya.

Dengan malas aku mengangkat telepon darinya.

"Assalamualaikum Za, ada apa."

"Walaikum salam, Bagaimana keadaanmu disana Nad. Kamu baikan? Tidak kurang satupun." Terdengar suaranya begitu antusias, saat aku mengangkat telepon darinya.

"Seperti kamu dengarkan, aku disini gimana." Tangan kiriku meremas gamis yang kukenakan, setiap bicara dengannya membuat sering emosi.

"Eh, jangan marah dong. Awakmu ngko cepet tua, gak ayu meneh. Lebih baik kamu tersenyum manis padaku."

Ucapannya itu membuatku mual. Bagaimana bisa tersenyum, aku tidak punya rasa denganmu Za!

"Udah basa-basinya, ada keperluan apa kamu menelponku," ucapku, kalau tidak begitu, Reza pasti akan sengaja berlama-lama bercakap denganku. Padahal dia tahu, pekerjaanku disini tidak sedikit.

"Nad, entah kenapa rasa yang terpendam ini, membuatku semakin merindukanmu. Kamu tahu, setiap malam aku selalu mengingatkan dengan kenangan kita dulu. Nad, kamu masih punyakan perasaan kepadaku. Kalau ya, mari kita perbaiki hubungan kita lagi," jelasnya.

Ucapannya itu, membuat dadaku terasa sesak, kenapa setiap bicara dengan dia selalu mengingatkan masa lalu. Bulir-bulir air mataku tidak bisa ditahan lagi, akhirnya jatuh. Bicara dengannya hanya membuat rasa sakit yang kurasakan.

"Nad, kok diam. Tolong jangan buatku khawatir, kalau ada apa-apa biar aku menyusulmu kesana."

"Sudahlah Za, kamu jangan khawatirkan aku lagi. Dan satu lagi, aku mohon jangan bawa lagi masa lalu kita, lagipula aku sudah lupa dengan itu. Itu tidak membuat rasa sakit yang kamu torehkan itu hilang, dan maaf. Aku tidak punya rasa denganmu lagi," jawabku. Lagi, membuat air mata semakin deras mengalir di kedua pipi.

"Kamu jangan bohong Nad! Tidak mungkin kamu melupakan begitu saja. Ayolah, kamu tahu itu. Aku maaf karena telah menyakitimu, dan aku tidak percaya kamu sudah tidak punya rasa denganku," ucapannya terdengar dengan nada sedikit meninggi.

"Aku tidak bohong Za! Sudahlah kamu berhenti saja mengejar ku, kalau ingin kita tetap bersahabat. Soal hati maaf, aku sudah menyukai seseorang," jelasku dengan apa adanya.

Ya, aku jujur mulai menaruh hati kepadanya. Seseorang pria yang telah beberapa hari terakhir ini, membuatku terus memikirkannya.

"Siapa dia! Kamu bilang suka dengannya, ck. Aku pastikan Nad, dia tidak akan mendapatkanmu pun juga sebaiknya. Dan aku pastikan, akan mendapatkanmu lihat nanti." Terdengar suara tawanya yang menyeringai.

"Kamu jangan egois Za! Kamu ingin persahabatan kita rusak!" Tegasku dan langsung memutus sambungan telepon darinya.

Aku segera menuju ke toilet, untuk merapikan penampilan wajahku yang berantakan akibat menangis.

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang