Seminggu berlalu sejak aku bertemu dengan Azzam saat membeli buku, dan sejak itu aku kembali menjalani hidup seperti biasanya. Memang ada sedikit yang dipikirkan tentang kejadian waktu itu, entah sudah terhitung beberapa kali nama pria itu terus terlintas didalam kepala. Padahal sudah kutekan sebisa mungkin, agar tidak kembali mengingatnya. Namun hingga kini, masih merasakan getaran-getaran yang terpatri dalam dada, walaupun sulit diartikan ketika kejadian itu terus membekas.
Meskipun memiliki nomor ponsel dia, tapi aku tak pernah satupun untuk mengirimkan pesan kepada Azzam. Meskipun itu sekadar ucapan terimakasih, karena ketika baru mengetik namanya didaftar pencarian kontak saja, sudah merasa gugup. Lagipula pria semacam ia tidak terlalu memikirkan peristiwa tersebut, interaksi sama wanita saja terkesan sedikit kaku. Tak sedikitpun melihatkan sebuah senyuman, walupun aku pernah menyaksikan sekali, tapi itu ditunjukkan kepada temannya yang sama-sama pria.
"Loh, teh. Teteh kenapa masuk ke sini," suara dari Maya, membawaku pergi meninggalkan dunia termenung ku.
"Ya mau kerjalah," ucapku.
Aku yang posisi duduk menghadap kearah Maya ada disamping kiriku. Dari raut mukanya dia mengerut bingung saat menatapku.
"He, ada apa May, kenapa kamu lihatku seperti itu," tanyaku.
"Teteh sudah tidak jadi sekertaris lagi ya?" Bukan menjawab pertanyaanku, ia malah berbalik bertanya.
Aku tidak mengerti maksudnya, siapa yang berhenti dari sekertaris. Wong aku saat ini, masih menjabat posisi itu. Eh tapi tunggu, kenapa aku bersama dengan Maya. Malah satu kubikel sekarang, bukanya dia bekerja di staf administrasi.
Suara decitan pintu membuat kami berdua mengarah ke sana. Terlihat Fani baru masuk, dia suka sekali ketika datang mepet sekali. Dia menatapku dengan menyipitkan mata.
"Eh loe kenapa ada disini? Ngelindur ya," ucapnya sembari mengarahkan jari telunjuk kearahku.
"Ya tuh teh Fan. Kenapa teteh Nadhira ada disini. Padahal ini kan ruangan kerja staf administrasi," Maya menimpali perkataan Fani.
Aku mengerut kearah mereka berdua dengan mata terbuka lebar, "jadi aku ini salah tempat?" Mereka berdua menangguk.
Aku menepuk jidat dan langsung keluar ruangan dan menuju ruangan kerja yang seharusnya kutuju. Sementara mereka berdua melihatku ketawa.
🌙🌙🌙
Setibanya ruanganku sedikit bersyukur. Karena pak Hendra juga baru datang, bahkan beliau baru saja duduk bersamaan mengeluarkan laptop, dari tas miliknya.
"Selamat pagi pak," salam sebelum menarik kursi dan duduk, untuk mulai bekerja di kerjaku.
"Oh, pagi Nad. Selamat bekerja."
Dia menatapku dengan sebuah senyuman, seperti yang biasa lakukan kepada seluruh karyawan. Dia ramah kepada siapun termasuk kepada ob. Katanya tegas memang harus dimiliki seorang pemimpin, tapi ia harus bisa bagaimana caranya karyawan tetap respek kepada atasan. Yaitu bersikap ramah dan memanusiakan mereka semua Nad. Kalimat yang diucapkan saat gala dinner dalam acara memperingati ulang tahun perusahaan tiga bulan yang lalu.
Aku menyalakan komputer, dan mulai mengatur jadwal pak Hendra selama seminggu kedepannya. Selain itu juga memeriksa beberapa surat masuk didalam map tergeletak di mejaku. Aku segera memproses surat tersebut, sebelum diserahkan kepada pak Hendra.
Ditengah melakukan pekerjaan tiba-tiba aku mengingat kembali tiga hari yang lalu. Saat berbincang-bincang kepada kak Ammar melalui sambungan telepon. Ketika itu kami berdua, sedang membahas bisnis yang akan aku jalankan kemungkinan bulan depan sudah dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
SpiritualNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...