Bab 8

96 3 0
                                    

Deringan ponsel mengganggu aktivitas tidur pagi dihari Minggu ini, aku meraba-raba untuk mencari benda pipih persegi panjang itu, tergeletak di atas kasur. Setelah mendapatkannya, aku melihat dilayar gawai, ternyata ibu yang menelepon pagi ini. Aku segera merubah posisi yang semula berbaring, menjadi duduk dengan mata sedikit menyipit.

Jujur saja kebiasaanku kalau besok libur, pasti begadang hingga larut malam. Tidur menjadi sebentar sebelum bangun lagi, untuk menunaikan salat subuh. Setelah itu baru tidur lagi, sebuah kebiasaan buruk yang agak sulit dirubah. Namun itu, tidak pernah kulakukan ketika dirumah, tidak ingin mendapatkan omelan orang satu rumah.

"Hmm, Assalamualaikum, Bu ada apa pagi-pagi ini nelpon Nadhira," salamku, dengan mulut mengusap.

"Walaikum salam, kamu baru bangun tidur ya nduk. Ibu kan sudah bilang, jangan biasakan bangun siang kalau libur, gimana dapat suami. Kalau awakmu tetap kaya gini kelakuannya."

Oh ibu, suka sekali ngomelin Nadhira, tapi ya aku salah juga sih.

"Maaf, Bu." Terdengar ibu menghela napas.

"Tadi salat subuh tidak, kalau jam gini baru bangun."

"Sudah Bu, bangun jam setengah lima, langsung salat. Ya Tapi setelah salat tidur lagi, hehehe..." Aku bangkit berjalan menuju, dispenser untuk menuangkan air putih kedalam gelas.

"Jadi, kamu tadi tidak sempat untuk sahur. Jangan sampai hari kamu tidak puasa ya nduk,"

Ucapan ibu, membuat aku yang telah menempelkan gelas diujung bibir, dan tinggal menegak langsung ingat. Kalau saat ini berlangsung puasa Ramadhan. Spontan aku membuang gelas yang berisi air ke lantai. Untung saja gelas itu terbuat dari plastik bukan kaca.

"Ono opo nduk, kok kaya gaduh gitu," tanya ibu."

"Tidak ada apa-apa kok Bu, hanya masalah kecil saja," jawabku, terpaksa sedikit berbohong. Karena yakin kalau ibu tahu, aku hendak minum air pasti akan menceramahi tanpa henti.

"Oh...ya udah, ibu mau tanya sama kamu. Sudah punya pria kamu sukai disana, dan pria itu juga suka sama kamu. Kalau sudah, cepat kenalkan kepada kedua orang tuamu Nad, terutama ibumu ini yang tidak sabar kamu menikah."

Ah, ibu. Kenapa selalu yang ditanyakan itu terus. Yang ada Nadhira bisa stress.

"Nadhira belum bisa memastikan Bu, tapi ada seorang pria yang membuat Nadhira penasaran yang pasti seperti menantu yang diidamkan ibu deh. Cuma Nadhira ragu, dia tertarik denganku apa tidak," ucapku berterus terang.

"Gitu, coba ajak kenalan. Kalau dia memang pria yang seperti kamu katakan, pasti akan melamar ketika ia menyukaimu, tapi ingat ya nduk jangan pacaran, ibu tidak suka."

Itulah sisi lain ibuku yang cerewet, dia selalu mendengarkan penjelasan dari anaknya, dan peduli tentunya.

"Tapi kamu ingatkan Nad. Kalau tidak bisa kenalan calon ibu sampai lebaran. Kamu harus menerima perjodohan dengan Reza."

Kata ibu barusan, berhasil membuat rasa sakit yang tertusuk dihati terasa lagi.

"Tapi Bu, bukannya ibu dulu tidak suka sama Reza." Aku masih ingat bagaimana reaksi ibu dulu, meskipun Reza sahabatku, tapi ibu tidak terlalu suka sikapnya. Apalagi Reza suka balapan liar, dan mabuk-mabukan. Bahkan suatu hari aku dilarang bertemu lagi dengannya, tapi kenapa sekarang sikap ibu ke Reza berubah.

"Iya ibu akui itu, tapi itu dulu. Sekarang insya Allah, dia berubah, sudah tiga tahunan ini dia memperdalam ilmu agama, dan meninggalkan kebiasaan buruknya."

Jodoh Sebelum HilalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang