Aku masih menerka-nerka bagaimana Azzam kenal dengan kak Ammar. Apakah mereka berdua pernah bertemu. Setahuku semua teman kak Ammar tidak satupun yang bernama Azzam.
Terlebih mereka berdua langsung bersalam tos dan berpelukan, bertawa ria. Lihatlah, kak Ammar malah tidak sedikitpun menyapa adiknya sendiri.
"Ehem." Mereka berdua menoleh kearahku seketika.
"Eh, maaf. Kakak sampai tahu, kalau adik tersayangnya ada disini," ucap kak Ammar, sembari cengengesan.
Aku hanya memutar bola mata dengan malas. Dia memang seperti itu, ketika bertemu dengan orang yang dikenal dan sudah akrab.
"Eh, itu pria kakak loe," bisik Fani, tepat disamping telinga kananku.
"Iya, emang kenapa."
"Ganteng amat sih, aku mau dong jadi doinya." Aku mendelik seketika dan menginjak kaki Fani.
"Sadis amat loe, hobinya suka nginjak kaki temen sendiri," gerutu Fani.
"Dia sudah jadi suami orang lain, awas jangan loe goda dia," ancamku.
"Anjir, kenapa setiap gue bertemu pria keren seperti dia, pasti sudah beristri," ujar Fani begitu kesal. Aku hanya menahan ketawa.
Tak seling kemudian, kak Ammar menatap sumringah kepada Kaffa. Tunggu dulu! Jangan-jangan mereka berdua saling kenal.
"Apa kabarmu Kaff," tanya kak Ammar.
"Alhamdulillah, saya baik. Kamu," jawab Kaffa. Aku menyengir, ketika menyimak gaya bicara Kaffa yang begitu normal. Meskipun itu dengan temannya sendiri.
"Seperti yang kamu liat," balas kak Ammar.
Aku masih tidak tahu, bagaimana kak Ammar bisa kenal dengan mereka berdua. Dia menatapku ketawa.
"Lihatlah, adikmu sepertinya bingung. Bagaimana aku bisa kenal kalian berdua," ucapnya tersenyum. Kemudian Azzam dan Kaffa ikut memandangiku, aku berusaha tersenyum dan mengenyerit. Kenapa pria didepanku menatap seperti itu, membuat orang yang dilihatnya menjadi sungkan.
"Teteh, kak teteh kesini ada apa," tanya Maya, aku hanya menggendikan bahu. Karena hingga sekarang, tidak tahu kenapa kak Ammar bisa ke Jakarta.
"Gak usah bingung, kenal mereka berdua karena memang teman kakak. Azzam ini dulunya pernah satu sekolah denganku waktu SMA. Tak hanya itu, dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas, dia satu kelas dengan kakak," tuturnya. Kemudian berhenti sejenak sekarang beralih menatap Kaffa.
"Sementara Kaffa ini, kenal kakak ketika waktu kuliah di ITB. Walaupun falkutas yang kami berdua berbeda, tetapi kami berdua ditemukan di LDK. Dari situlah mulai kenal satu sama lain dan saling akrab," lanjutnya.
Aku mengangguk, meskipun masih tidak menyangka mereka bertiga saling kenal. Oh, Allah kenapa dunia sempit seperti ini. Secara tidak langsung circle pergaulanku sekarang juga satu dengan kak Ammar. Karena dikenalkan dengan orang yang sama.
"Oh, ya kak. Kenapa ada di Jakarta. Memangnya ada urusan apa," tanyaku.
Kak Ammar tidak menjawab, tapi malah menyentil dahiku, sembari menggelengkan kepala tersenyum. Aku mengerucutkan bibir, tidak terima dengan kebiasaan kak Ammar terhadap adik-adiknya.
"Gini nih, punya adik tidak peka. Emangnya harus jelaskan sampai beberapa kali. Kalau aku setiap Jakarta ada urusan apa," tanyanya.
Aku menepuk jidat. Ya Allah. Kenapa bisa lupa kalau kak Ammar itu penulis buku. Setiap ke Jakarta pasti, dia ada urusan buku yang akan terbit atau diundang oleh penerbit. Dia sudah menerbitkan buku belasan, dari fiksi berupa novel hingga non fiksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Sebelum Hilal
SpiritualNadhira yang dibuat bingung ketika terus didesak orang-orang terdekatnya agar segera menikah, terlebih usianya sudah memasuki 28. Masalah menjadi rumit ketika ibunya memberikan kesempatan hanya sampai sebelum lebaran, agar dia mencari calon sesuai k...